Jumat, 10 Agustus 2012

Ghaida Wafiyya Taqiyurahmani

M. Arieq Taqiyullah

IDUL FITRI DAN CARA BEREKONOMI KITA



Sesungguhnya secara praktis kegiatan ekonomi bisa kita reduksi maknanya menjadi usaha yang dilakukan oleh pelaku ekonomi – baik di level mikro naupun makro – untuk mendapatkan pemasukan (income) berupa materi dan bagaimana membelanjakannya. Faktor pendorong  untuk kegiatan ekonomi tersebut adalah kebutuhan maupun keinginan pelaku ekonomi tersebut (manusia) yang dalam prakteknya tidak mungkin diperoleh tanpa melibatkan pihak lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhan maupun keinginannya tersebut manusia mau tidak mau harus melakukan kerja sama dengan pihak lain. Malah, dalam batas tertentu trade off sering kali terjadi dalam menetapkan prioritas pilihannya.

Pada prakteknya dalam rangka mencapai kebutuhan maupun keinginannya, manusia seringkali  melakukan segala cara. Untuk memuaskan kebutuhan dan keinginannya tersebut, manusia berpotensi besar untuk melakukan cara-cara yang bathil  dan aniaya terhadap sesama maupun makhluk lainnya (sosial lingkungan) termasuk terhadap dirinya sendiri. Kata bathil disini diartikan sebagai segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya.  Ukuran kepuasan lebih banyak dipengaruhi oleh subjektifitas kepentingan individu atau komunitas manusia.   

Disinilah sangat diperlukan suatu pakem atau etika yang mengatur kegiatan ekonomi tersebut agar tidak berdampak buruk bagi para stakeholders. Isu mengenai pakem atau etika inilah yang membedakan antara ekonomi Islam dan ekonomi lainnya. Kegiatan ekonomi yang disifati dengan kata Islam mengandung makna bahwa kegiatan ekonomi tersebut harus dipastikan sesuai dengan pakem maupun etika Islam dalam Al Quran dan Al Hadits. Berekonomi secara Islami menjadi sebuah keharusan bagi setiap mukallaf sebagai pengejawantahan keberimanan seseorang. Selalu ada spirit dan motivasi untuk selalu berada dalam kerangka ajaran Islam tentang cara berekonomi tersebut sebagai pesan yang termaktub dalam Al Quran tentang  prinsip bermuamalah dalam ekonomi:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi ekonomi/keuangan di antara kamu secara batil…..” (QS Al Baqarah [2] : 188)
Namun demikian, selalu ada celah dimana cara berekonomi kita selama sebelas bulan sebelum bulan Ramadhan penuh dengan warna kebathilan dalam rangka menggapai kebutuhan maupun keinginan. Tidak jarang, cara kita mendapatkan pemasukan maupun pengeluaran jauh dari nilai-nilai syar’i.
Sesungguhnya ketika membahas tentang Idul Fitri tidak akan terlepas dari membahas mengenai bulan Ramadhan dengan kewajiban ibadah shaum-nya. Kewajiban shaum yang bisa mengantarkan kaum muslimin menjadi orang-orang yang bertaqwa sebagaimana termaktub dalam QS Al Baqarah [2] : 183-185:
“Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa………”

Idul fitri adalah merupakan puncak pelaksanaan ibadah shaum dan memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan pelaksanaan ibadah shaum tersebut. Adapun kata ‘id diambil dari bahasa Arab yaitu “’aada ya’uudu ‘iedan” artinya “kembali.” Sedang fitri atau fitrah artinya sifat asli, pembawaan.  Secara etimologis Idul fitri berarti hari raya kesucian atau juga hari raya kemenangan, yaitu kemenangan mencapai kesucian (fithri). Dengan demikian, Idul Fitri ialah lebaran untuk merayakan kemenangan karena berhasil kembali ke fitrah semula yang suci bersih.  Kembali menjadi manusia-manusia “baru” yang kembali ke ajaran Islam yang suci/fithrah (muttaqun) sehingga pada akhirnya mendapatkan syurga-Nya.

Spirit dan motivasi untuk selalu berada (istiqomah) dalam kerangka QS Al Baqarah [2] : 188 inilah yang bisa dimaknai sebagai sebuah kemenangan yang sesungguhnya dan secara berkelanjutan menjaganya dengan secara sadar. Spirit dan motivasi yang dibalut dengan esensi taqwa. Sebuah wujud resultasi perenungan kembali selama kurang lebih satu bulan untuk kembali ke jalan yang benar dalam semua aktivitas kehidupan wa bilkhusus dalam cara berekonomi setelah berpotensi mengalami deviasi selama sebelas bulan sebelumnya. Semoga Idul Fitri kali ini kita termasuk golongan yang kembali fithrah dan menggapai kemenangan syurga-Nya kelak, Amien. Wallahu A’lam     

Senin, 20 Oktober 2008

EKONOMI RIIL Vs EKONOMI SEMU


Yulizar D. Sanrego
Kepala Lembaga Penelitian & Pemberdayaan Masyarakat (LPPM)
STEI Tazkia
(Artikel dimuat di Majalah Gontor edisi Novenber 2008)


Berita tentang krisis ekonomi global menghiasi hampir seluruh media massa baik elektronik maupun cetak, mulai media lokal maupun internasional. Tidak disangka-sangka Amerika yang konon negara adidaya dan pusat gerakan bisnis dunia itu, luluh lantak dengan menyisakan resesi ekonomi. Hingga sekarang, krisis ekonomi tersebut belum juga menunjukkan sinyal akan mereda. Harga properti di Amerika terus melorot tajam dan indeks bursa terus runtuh. Makin banyak rakyat negara super power itu yang hidup susah. Berbeda dengan krisis ekonomi 1997 yang melanda Asia, badai ekonomi 2008 dipicu oleh krisis subprime mortgage atau kredit perumahan “kelas dua” di Amerika. Kenaikan suku bunga menyebabkan banyak kredit gagal bayar. Harga properti jatuh, termasuk surat utang yang dijamin aset properti tersebut. Krisis subprime mencekik perusahaan-perusahaan yang uangnya nyangkut dalam surat utang properti tersebut.

Masalahnya, badai ekonomi dari jantung kapitalisme dengan size ekonomi terbesar di dunia tersebut menggulung negara-negara lain. Sejumlah bursa saham di dunia ikut anjlok mulai dari Eropa, Asia sampai Timur Tengah. Sejumlah negara bahkan sempat menghentikan perdagangan di bursa sahamnya, antara lain Rusia, Austria, Islandia, Rumania, Ukraina, Brazil termasuk Indonesia. Menteri Keuangan Korea Selatan sampai mengatakan,"Banyak orang Korea bertanya, bagaimana bisa negara Amerika Serikat bisa menjadi begitu lemah." Di Inggris, krisis keuangan global telah menyebabkan angka pengangguran meroket tajam. Jumlah pengangguran saat ini menyentuh rekor tertinggi sejak resesi yang melanda negara itu 17 tahun silam.

Sesungguhnya, krisis yang terjadi lebih disebabkan oleh sistem moneter kapitalis itu sendiri. Ekonomi Amerika termasuk dunia digerakkan oleh sektor keuangan (financially driven capitalism) yang bersifat semu. Kalaulah kita telaah lebih kritis, pemicunya tidak hanya bunga kredit tetapi juga melibatkan penyalahgunaan uang dan instrumen keuangan lainnya yang tidak lagi sekedar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan, beranak pinak dan berlipat ganda dalam waktu singkat tanpa menyisakan nilai riil. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.

Kondisi inilah yang dikenal luas dengan istilah “bubble economy” dalam ekonomi kapitalis. Pertumbuhan ekonomi yang dipicu sektor keuangan terlihat seperti balon yang terus membesar dan enak dipandang, tetapi pada suatu ketika akan pecah dengan menyisakan berbagai macam masalah ekonomi. Sistem ini telah menumbuhsuburkan ekonomi non-riil yang nilai transaksinya jauh lebih besar dari ekonomi riil. Bisa ditebak, kondisi terakhir akan memicu terjadinya inflasi dan akan “selalu” mendorong pemerintah untuk menaikkan rate SBI. Jika kondisi ini terus terjadi, maka decoupling antara sektor riil dan sektor keuangan akan selalu terjadi di muka bumi ini. Pada gilirannya, akan terjadi pula kesenjangan dan penumpukan modal abadi pada segelintir orang. Majalah The Economist dalam analisisnya terhadap krisis menggarisbawahi pandangan tersebut: ”penumpukan kekayaan dan bencana adalah bagian dari sistem keuangan Barat”.


Ekonomi Riil = Ekonomi Islam

Dalam perspektif Islam, tidak diragukan lagi bahwa anasir dari financially driven capitalism termasuk moral pelaku ekonomi itulah yang menjadi penyebab terjadinya krisis keuangan global sekarang. Hal ini ditegaskan juga oleh Khan (2008), bahwa faktor utama penyebab krisis keuangan sekarang adalah adanya praktek ribawi dan maysir (judi) yang melibatkan praktek spekulasi dalam pasar keuangan termasuk bermain valas. Dengan wujudnya anasir tersebut, maka bisa dipertegas bahwa karakteristik ekonomi kapitalis adalah ekonomi yang berbasis non-riil (semu).

Sistem bunga hanya akan melanggengkan status quo kaum kapitalis dalam penguasaan modal mereka. Dengan karakteristik “pasti untung” (pre-determined return) yang melekat pada bunga, maka kondisi ini akan membuka peluang bagi para pemilik modal untuk bertransaksi hanya di sektor keuangan dibandingkan di sektor riil yang sarat akan risiko. Tegasnya, adanya kepastian keuntungan akan menarik potensi pasar untuk mengalokasikan uang di pasar-pasar moneter. Riba, fiat money, dan fractional reserve system dalam perbankan dengan diperbolehkannya praktek spekulasi akan menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral) dan tersedotnya uang yang terkonsentrasi di sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa bersinggungan dengan risiko.

Akibat yang kemudian muncul adalah uang atau investasi yang seharusnya mengalir ke saluran sektor riil untuk tujuan produktif, sebagian besarnya mengalir ke sektor moneter, sehingga menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil. Penciptaan uang tanpa adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi dan akhirnya tujuan pertumbuhan ekonomi tidak dapat tercapai.

Dengan diharamkannya anasir financially driven capitalism yang berdampak buruk kepada laju perekonomian tersebut, ekonomi Islam dengan sistem bagi hasil dan penekanan kewajiban zakat akan berdampak positif bagi laju perekonomian yang berbasis sektor rill. Melalui sistem bagi hasil yang disertai dengan instrumen zakat berikut pelarangan riba dan segala bentuk spekulasi, maka akan mendorong iklim investasi yang akan tersalur dengan lancar ke sektor riil untuk tujuan yang sepenuhnya produktif. Hal ini akan menjamin terdistribusinya kekayaan dan pendapatan serta akan menumbuhkan sektor riil. Dengan meningkatnya produktifitas dalam bentuk kesempatan kerja dan usaha diharapkan mampu memicu pertumbuhan ekonomi, sehingga pada akhirya cita-cita mewujudkan masyarakat yang sejahtera dapat tergapai.

Dengan wujudnya zakat, dana yang tidak diinvestasikan akan mengalir kepada sektor riil melalui permintaan para mustahiq untuk memenuhi kebutuhan primer mereka. Kalaupun dana tersebut diinvestasikan, maka dengan dilarangnya riba dan maysir, maka sektor yang memungkinkan untuk mendapatkan pembiayaan adalah sektor riil. Sebagai ikhtitam, sudah saatnya pendulum sejarah ekonomi mengarah kepada aplikasi sistem ekonomi Islam yang berbasis shared prosperity bukan berbasis zero-sum game sebagaimana praktek ekonomi kapitalis. Wallahu A’lam

Senin, 29 September 2008

'Ied Mubarak

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengharap ridha-Nya,Kami sekeluarga mengucapkan
Taqabballahu Minna wa Minkum,
Minal 'Aidina wal Faizin..
Mudah-mudahan kita termasuk Minassuhadail Maqbulien..
Dan dipertemukan kembali pada Ramadhan berikutnya
Taqabbal Ya Kariem..

Wassalam,
Yulizar D. Sanrego
E. Nurrachmah
M. Arieq Taqiyullah

Kamis, 28 Agustus 2008

Ramadhan Kariem...

Salamullahi 'Alaikum Wabarakatuh..
Dear All..

Sebagai manusia yang penuh khilaf dan alpa, pada kesempatan ini saya beserta keluarga memohon maaf baik yang disengaja ataupun tidak disengaja. Semoga ibadah shaum pada ramadhan kali ini, kita diberikan kekuatan lahir batin untuk menjalankannya dan mendapatkan ridha-Nya. Taqabbalahu Minna Wa Minkum Taqabbal Ya Kariem. Allahumma Baarik Lanaa fi Sya'ban Wa Balillignaa Ramadhan..

" Do'a Malaikat Jibril Menjelang Ramadhan " "Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
* Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
* Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami istri;
* Tidak berma'afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Maka Rasulullah pun mengatakan Amiin sebanyak 3 kali.

Wassalam
Yulizar D. Sanrego Nz
E. Nurrachmah
M. Arieq Taqiyullah

Minggu, 24 Agustus 2008

ISLAM, LKMS dan UMKM

Yulizar Djamaluddin Sanrego Nz
Kepala LPPM Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia
(Artikel dimuat di majalah Ekonomi dan Bisnis Syariah, SHARING)

Akses finansial bagi rakyat miskin ditengarai merupakan alat yang ampuh dalam rangka pengentasan kemiskinan. Peran keuangan mikro sebagai ujung tombak dalam pengentasan kemiskinan telah mendapat pengakuan secara internasional. Pengakuan tersebut tercermin dari keputusan Sidang Majelis Umum PBB ke-53 (tahun 1998) yang menetapkan tahun 2005 sebagai Tahun Kredit Mikro Internasional (TKMI). Sidang tersebut ditindak lanjuti dengan Launching International Year of Micro credit 2005, di Markas Besar PBB, New York, oleh Sekjen PBB Kofi Annan pertengahan bulan November 2004.

Pembahasan mengenai besarnya peran yang bisa dilakukan oleh lembaga keuangan mikro (LKM) dalam memberikan pelayanan keuangan juga tidak luput dari penelitian Institute Research and Training Institute (IRTI) – Islamic Development Bank. Perhatian tersebut adalah dengan cara menggelar konferensi berseri tentang peluang dan tantangan keuangan Islam dalam memberikan pelayanan keuangan terhadap perkembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Konferensi pertama dilakukan IRTI bekerjasama dengan University of Brunei Darussalam tahun 2007 dan konferensi berikutnya akan digelar pada bulan Desember tahun ini di Bangladesh dengan mengusung tema yang sama.

Ada beberapa isu strategis yang menjadi konsen penulis seputar keuangan mikro ketika menjadi salah satu pembicara dalam konferensi Brunei adalah isu mengenai model pemberdayaan ekonomi yang bisa dilakoni oleh lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), isu mitigasi risiko yang besar kemungkinan dihadapi oleh LKMS, isu evaluasi bagi LKMS yang memerankan dwi fungsi sebagai entitas bisnis dan entitas sosial, dan terakhir isu mengenai peran instrumen keuangan Islam seperti zakat, infaq, shadaqah dan wakaf sebagai sumber dana murah LKMS. Artikel ini akan difokuskan pada pembahasan mengenai isu pertama yang berkaitan dengan model pemberdayaan yang bisa diperankan melalui aliansi strategis LKMS dan UMKM dan bagaimana pendekatan Islam dalam memahami peran strategis tersebut.

LKM dan UMKM

Berbicara mengenai UMKM, maka kurang sah kiranya kalau tidak melibatkan pembahasan mengenai lembaga keuangan mikro (LKM) demikian pula sebaliknya. Keduanya bak dua sisi mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Hal yang paling krusial lagi adalah bagaimana aliansi cantik antara keduanya berdampak positif bagi pengentasan kemiskinan dan permasalahan pengangguran.

Peranan usaha mikro kecil menengah (UMKM) terutama sejak krisis moneter tahun 1998 dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia di tahun 2001 lalu mengenai “Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis: Fakta, Penyebab, dan Implikasi Kebijakan” yang diterbitkan oleh Direktorat Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Tahun 2001, diungkapkan adanya pengakuan dari industri perbankan kita bahwa kredit yang disalurkan kepada UMKM adalah lebih minimal risikonya, dan UMKM ternyata memiliki kondisi usaha yang lebih sehat. Dibandingkan dengan usaha yang berskala besar, UMKM terbukti lebih tahan dan resisten terhadap krisis ekonomi (Tambunan, 2004).

Beberapa data dan informasi menunjukkan kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional. Kontribusi UMKM terhadap PDRB Indonesia mencapai 56.7 persen. Bandingkan dengan kontribusi yang bersumber dari ekspor nonmigas yang hanya mencapai 15 persen. Lebih dari itu UMKM juga memberikan kontribusi sebesar 99.6 persen dalam penyerapan tenaga kerja. Demikianlah struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Melihat konfigurasi tersebut, tidaklah berlebihan jika pengembangan UMKM khususnya untuk usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity. Pemberdayaan secara khusus terhadap usaha mikro yang mayoritas plafonnya dibawah lima juta merupakan langkah konkrit untuk memutus rantai kemiskinan yang membelenggu masyarakat selama ini.

Semangat dan kenyataan tersebut memberikan keyakinan terhadap kemampuan dan vitalitas UMKM dalam pengembangan perekonomian. Lebih jauh, perkembangan UMKM ini juga akan sangat berpotensi untuk memutus lingkaran kemiskinan masyarakat. Dalam konteks ini pula, UMKM selalu diasosiasikan dengan efek-efek positif terhadap beberapa isu seperti pendapatan Rumah Tangga, tabungan, pendidikan anak-anak, kesehatan dan nutrisi serta pemberdayaan perempuan. Lebih jauh Krisna Wijaya (2005) menyatakan bahwa kaitan antara pemberdayaan kredit mikro dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan pintu masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha pemula. Jika pengusaha pemula ini tumbuh dan berkembang akan terentaskan karena menjadi pengusaha atau karena trickle down effect dari semakin banyaknya pengusaha mikro.

Perkembangan sektor UMKM yang demikian menyiratkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik, jika hal ini dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat mewujudkan usaha mikro, kecil dan menengah yang tangguh. Namun, disisi yang lain UMKM juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang secara garis besar mencakup: pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan. Untuk yang terakhir sebagai lembaga keuangan formal hampir tidak masuk akal melakukan transaksi dengan pengusaha berskala mikro karena biaya transaksinya tinggi dan penuh risiko.

Dengan segala keterbatasan inilah maka akses dan pelayanan finansial yang mudah dan murah bagi UMKM menjadi solusi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, mutlak diperlukan. Bagi Indonesia yang memiliki lebih dari 40 juta unit UMKM, peran LKM menjadi sangat strategis dan urgen dalam rangka pengentasan kemiskinan. Peran yang ditegaskan dalam target Millenium Development Goals (MDGs): mengurangi separuh dari jumlah 1,2 milyar manusia yang kini hidup dalam kemiskinan yang parah di dunia.
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus menerus melayani kebutuhan mereka.

Perspektif Islam

Dalam konteks pembahasan LKM dan UMKM diatas, perlu juga kiranya membahas bagaimana pandangan Islam dalam memberikan pelayanan keuangan bagi masyarakat kelompok miskin yang mayoritas berada di sektor UMKM.

Sesungguhnya berbicara mengenai kemiskinan dalam perspektif Islam adalah merupakan suatu fenomena yang sangat dibenci kalau tidak dikatakan dharuri (urgent). Hadits Rasulullah saw menegaskan dan memperingatkan bahwa kemiskinan cenderung membawa seseorang kepada kekufuran.

Dua model pendekatan yang bisa digunakan dalam memberdayakan kelompok miskin, yaitu pendekatan tabarru’i (social approach) dan pendekatan tijari (commercial approach) yang didalamnya mengandung unsur pendidikan. Pendekatan pertama difokuskan kepada langkah sebuah institusi dalam memberikan pelayanan masyarakat miskin dalam menutupi kebutuhan dasarnya. Dalam pendekatan ini, unsur-unsur pendidikan bagi masyarakat sangat ditekankan termasuk pembangunan karakter agar masyarakat tidak selalu menjadi “tangan di bawah”. Ada upaya-upaya edukasi sehingga masyarakat pada gilirannya siap mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan finansial yang bersifat tijari.

Pendekatan tersebut akan relevan dan berjalan efektif jika data kemiskinan bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya. Meminjam klasifikasi Robinson (1993), peran LKM bisa dipetakan ke dalam tiga kelompok besar; pertama, masyarakat yang sangat miskin (the extremely poor) yakni mereka yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Kedua, masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor). Ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak.

Dalam pemetaan diatas yang harus dikritisi adalah dimana sesungguhnya peran serta LKM. Menurut Microcredit Summit (1997), definisi kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya, “programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their families.” Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun.

Jika merujuk kepada definisi tersebut, maka peran strategis LKM lebih relevan untuk dua kelompok terakhir. Dimana sasaran kelompok masyarakat miskin tersebut sudah memiliki kemampuan usaha dan paling tidak sudah bisa menutupi kebutuhan dasar mereka. Dalam perspektif muamalah Islam, maka pendekatan yang paling pas dengan kondisi masyarakat tersebut adalah melalui pendekatan tijari dengan asumsi bahwa kebutuhan dharuriyat (kebutuhan pokok) mereka telah terpenuhi dan paling tidak mengerti apa yang harus dilakukan dengan usahanya.

Terkait dengan akad tijari, Islam dengan sistem bagi hasil dan risiko (profit and loss sharing), pembiayaan yang akan diberikan betul-betul dialokasikan kepada kelayakan usaha maupun tingkat keuntungan yang diharapkan. Konsekwensi logisnya, hal ini akan berdampak pada upaya pengalokasian modal kepada pihak yang tepat sesuai dengan definisi microfinance diatas yaitu masyarakat yang berdiri diatas kemampuannya sendiri dengan kemampuan entrepreneurship yang jelas dan bukan sebaliknya.

Dengan demikian akan jelas bahwa dana yang dialokasikan akan digunakan untuk usaha-usaha sektor riil dan produktif yang akan berdampak luas bagi penyediaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Layak tidaknya suatu pembiayaan merujuk kepada fisibilitas sebuah usaha bukan harus bankable dengan sederet persyaratan yang memberatkan para usaha mikro. Tidaklah berlebihan jika Chapra (2000) menyatakan bahwa kerja institusi keuangan Islam termasuk LKM syariah (LKMS) lebih berat dibandingkan institusi keungan konvensional yang hanya bertopang hanya pada spread bunga antara kewajiban debitor dan kewajiban institusi kepada pemilik modal.

Khusus mengenai pendekatan terhadap kelompok masyarakat pertama, maka pendekatan yang bijak adalah dengan cara pendekatan tabarru’i. Sangatlah tidak bijak jika memaksakan masyarakat yang dihadapkan kepada beban untuk memenuhi kebutuhan dasarnya “dipaksa” untuk mengambil jatah pada akad tijari. Bagaimana masyarakat akan berpikir dengan normal sementara kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dengan layak. Inilah kemudian ditengarai menjadi penyebab terjadinya kredit macet, karena kredit atau pembiayaan yang sejatinya untuk usaha produktif digunakan untuk keperluan konsumtif. Dalam Islam, kewajiban negaralah untuk memastikan kebutuhan dasar masyarakatnya terpenuhi. Bukankah urusan ini tercantum dalam Undang-undang Dasar. Untuk kelompok masyarakat seperti ini, maka perlu proses yang relatif lama untuk menumbuhkan karakter entrepreurship sehingga tidak selamanya bermental ”tangan di bawah”.

Di dalam Islam, ada beberapa instrumen keuangan yang bisa dijadikan sebagai jaring pengaman sosial yang bisa dialokasikan untuk golongan masyarakat tersebut berupa zakat, infaq, shadaqah maupun wakaf (ZISWAF). Dalam konteks LKMS dan UMKM, adakah fungsi yang bisa diperankan oleh ZISWAF. ZISWAF bisa menjadi solusi alternatif bagi keterbatasan akses finansial yang dihadapi oleh LKMS dalam memberikan pelayanan finansial bagi UMKM. Dengan pemahaman yang sama, LKMS dengan institusi ZISWAF-nya bisa memberikan solusi bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang bersifat konsumtif dan bahkan bisa menutupi kebutuhan investasi UMKM.

Dengan dana yang relatif murah dan berkelanjutan, maka sumber dana bagi pembiayaan investasi berbasis sektor riil akan bisa dimaksimalkan. Dengan memaksimalkan peran dan fungsi sebagaimana definisi Baitul Mal wa Tamwil, Dompet Dhuafa (DD) sebagai contoh telah mampu memberikan kontribusi positif bagi pemberdayaan masyarakat dari sisi peningkatan pendapatan dan kemampuan berusaha mitra. Pada pemahaman ini, penulis ingin menegaskan bahwa harus ada demarkasi peran maupun pendekatan baik LKMS sebagai institusi tijari (commercial institution) dan institusi tabarru’i (social institution). Hal ini akan berdampak pada model evaluasi performa kedua model institusi tersebut.

Sebagai ikhtitam, mencari solusi bagi pelayanan atau akses finansial bagi UMKM tidak kemudian diberhenti dengan adanya LKM maupun LKMS. Ada beberapa hal yang menjadi isu kritis jika aliansi strategis antara UMKM dan LKMS tersebut diarahkan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Pertama, harus dipastikan bahwa instrumen riba tidak menjadi bagian dari agenda tersebut. Selalu saja ada ”gap ruang usaha” antara debitor dan kreditor. Dalam pemahaman ini, debitor murni berusaha di sektor riil, sementara kreditor hanya berkutat di sektor moneter. Selalu ada kompensasi dalam sistem bunga atas risiko usaha dengan bunga yang telah ditetapkan di awal (pre determined). Disinilah peran model pembiayaan dalam perspektif Islam layak untuk menjadi alternatif baik yang berbasis equity financing maupun debt financing.

Kedua, kalaulah aliansi strategis antara LKM dan UMKM menjadi kebijakan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, pemerintah harus memiliki data base tentang pemetaaan kelompok miskin yang valid dan up to date. Dengan begitu akan dipastikan dengan baik kelompok mana yang langsung mendapatkan pendekatan komersial dan mana yang sesuai dengan model pendekatan sosial. Harus ada langkah-langkah konkrit yang harus dilalui oleh masyarakat ketika harus berangkat dari pendekatan sosial untuk kemudian layak mendapatkan pendekatan komersial. Ada proses edukasi bagi masyarakat yang harus dilalui dalam pendekatan sosial sehingga meningkat dan layak mendapatkan pelayanan keuangan berbasis komersial.

Pemerintah sebagai penyelenggara program harus belajar dari pengalam program BLT yang salah sasaran akibat dari ketersediaan data yang out of date. Khusus untuk pendekatan sosial, instrumen keuangan Islam berupa ZISWAF pada prakteknya sekarang bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan dasar masyarakat dan dana pendidikan atau technical assistance dalam rangka membangun karakter (character building) masyarakat miskin yang tangguh dan memiliki keahlian kewirausahaan.

Last but not least adalah keberpihakan pemerintah yang betul-betul serius dalam menciptakan infrastruktur yang kuat dalam mendorong pertumbuhan sektor riil khususnya di bidang pertanian yang memang menjadi comparative advantage bagi bangsa Indonesia termasuk lingkungan makro yang kondusif dan sehat bagi keberlanjutan iklim investasi. Wallahu A’lam