Sesungguhnya
secara praktis kegiatan ekonomi bisa kita reduksi maknanya menjadi usaha yang
dilakukan oleh pelaku ekonomi – baik di level mikro naupun makro – untuk
mendapatkan pemasukan (income) berupa materi dan bagaimana
membelanjakannya. Faktor pendorong untuk
kegiatan ekonomi tersebut adalah kebutuhan maupun keinginan pelaku ekonomi
tersebut (manusia) yang dalam prakteknya tidak mungkin diperoleh tanpa
melibatkan pihak lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhan maupun keinginannya
tersebut manusia mau tidak mau harus melakukan kerja sama dengan pihak lain.
Malah, dalam batas tertentu trade off sering kali terjadi dalam
menetapkan prioritas pilihannya.
Pada prakteknya dalam rangka mencapai
kebutuhan maupun keinginannya, manusia seringkali melakukan segala cara. Untuk memuaskan
kebutuhan dan keinginannya tersebut, manusia berpotensi besar untuk melakukan
cara-cara yang bathil dan aniaya
terhadap sesama maupun makhluk lainnya (sosial lingkungan) termasuk terhadap dirinya
sendiri. Kata bathil disini diartikan sebagai segala sesuatu yang
bertentangan dengan ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Ukuran kepuasan lebih banyak dipengaruhi oleh
subjektifitas kepentingan individu atau komunitas manusia.
Disinilah
sangat diperlukan suatu pakem atau etika yang mengatur kegiatan ekonomi
tersebut agar tidak berdampak buruk bagi para stakeholders. Isu mengenai
pakem atau etika inilah yang membedakan antara ekonomi Islam dan ekonomi
lainnya. Kegiatan ekonomi yang disifati dengan kata Islam mengandung makna
bahwa kegiatan ekonomi tersebut harus dipastikan sesuai dengan pakem maupun
etika Islam dalam Al Quran dan Al Hadits. Berekonomi secara Islami menjadi
sebuah keharusan bagi setiap mukallaf sebagai pengejawantahan
keberimanan seseorang. Selalu ada spirit dan motivasi untuk selalu berada dalam
kerangka ajaran Islam tentang cara berekonomi tersebut sebagai pesan yang
termaktub dalam Al Quran tentang prinsip
bermuamalah dalam ekonomi:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau
melakukan interaksi ekonomi/keuangan di antara kamu secara batil…..” (QS Al
Baqarah [2] : 188)
Namun
demikian, selalu ada celah dimana cara berekonomi kita selama sebelas bulan
sebelum bulan Ramadhan penuh dengan warna kebathilan dalam rangka menggapai
kebutuhan maupun keinginan. Tidak jarang, cara kita mendapatkan pemasukan
maupun pengeluaran jauh dari nilai-nilai syar’i.
Sesungguhnya
ketika membahas tentang Idul Fitri tidak akan terlepas dari membahas mengenai
bulan Ramadhan dengan kewajiban ibadah shaum-nya. Kewajiban shaum yang bisa
mengantarkan kaum muslimin menjadi orang-orang yang bertaqwa sebagaimana
termaktub dalam QS Al Baqarah [2] : 183-185:
“Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa………”
Idul fitri adalah merupakan puncak pelaksanaan
ibadah shaum dan memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan pelaksanaan
ibadah shaum tersebut. Adapun kata ‘id diambil dari bahasa Arab yaitu “’aada
ya’uudu ‘iedan” artinya “kembali.” Sedang fitri atau fitrah artinya sifat
asli, pembawaan. Secara etimologis Idul fitri berarti hari raya kesucian
atau juga hari raya kemenangan, yaitu kemenangan mencapai kesucian (fithri).
Dengan demikian, Idul Fitri ialah lebaran untuk merayakan kemenangan karena
berhasil kembali ke fitrah semula yang suci bersih. Kembali menjadi
manusia-manusia “baru” yang kembali ke ajaran Islam yang suci/fithrah (muttaqun)
sehingga pada akhirnya mendapatkan syurga-Nya.
Spirit
dan motivasi untuk selalu berada (istiqomah) dalam kerangka QS Al
Baqarah [2] : 188 inilah yang bisa dimaknai sebagai sebuah kemenangan yang
sesungguhnya dan secara berkelanjutan menjaganya dengan secara sadar. Spirit
dan motivasi yang dibalut dengan esensi taqwa. Sebuah wujud resultasi
perenungan kembali selama kurang lebih satu bulan untuk kembali ke jalan yang
benar dalam semua aktivitas kehidupan wa bilkhusus dalam cara berekonomi
setelah berpotensi mengalami deviasi selama sebelas bulan sebelumnya. Semoga Idul
Fitri kali ini kita termasuk golongan yang kembali fithrah dan menggapai
kemenangan syurga-Nya kelak, Amien. Wallahu A’lam