Senin, 20 Oktober 2008

EKONOMI RIIL Vs EKONOMI SEMU


Yulizar D. Sanrego
Kepala Lembaga Penelitian & Pemberdayaan Masyarakat (LPPM)
STEI Tazkia
(Artikel dimuat di Majalah Gontor edisi Novenber 2008)


Berita tentang krisis ekonomi global menghiasi hampir seluruh media massa baik elektronik maupun cetak, mulai media lokal maupun internasional. Tidak disangka-sangka Amerika yang konon negara adidaya dan pusat gerakan bisnis dunia itu, luluh lantak dengan menyisakan resesi ekonomi. Hingga sekarang, krisis ekonomi tersebut belum juga menunjukkan sinyal akan mereda. Harga properti di Amerika terus melorot tajam dan indeks bursa terus runtuh. Makin banyak rakyat negara super power itu yang hidup susah. Berbeda dengan krisis ekonomi 1997 yang melanda Asia, badai ekonomi 2008 dipicu oleh krisis subprime mortgage atau kredit perumahan “kelas dua” di Amerika. Kenaikan suku bunga menyebabkan banyak kredit gagal bayar. Harga properti jatuh, termasuk surat utang yang dijamin aset properti tersebut. Krisis subprime mencekik perusahaan-perusahaan yang uangnya nyangkut dalam surat utang properti tersebut.

Masalahnya, badai ekonomi dari jantung kapitalisme dengan size ekonomi terbesar di dunia tersebut menggulung negara-negara lain. Sejumlah bursa saham di dunia ikut anjlok mulai dari Eropa, Asia sampai Timur Tengah. Sejumlah negara bahkan sempat menghentikan perdagangan di bursa sahamnya, antara lain Rusia, Austria, Islandia, Rumania, Ukraina, Brazil termasuk Indonesia. Menteri Keuangan Korea Selatan sampai mengatakan,"Banyak orang Korea bertanya, bagaimana bisa negara Amerika Serikat bisa menjadi begitu lemah." Di Inggris, krisis keuangan global telah menyebabkan angka pengangguran meroket tajam. Jumlah pengangguran saat ini menyentuh rekor tertinggi sejak resesi yang melanda negara itu 17 tahun silam.

Sesungguhnya, krisis yang terjadi lebih disebabkan oleh sistem moneter kapitalis itu sendiri. Ekonomi Amerika termasuk dunia digerakkan oleh sektor keuangan (financially driven capitalism) yang bersifat semu. Kalaulah kita telaah lebih kritis, pemicunya tidak hanya bunga kredit tetapi juga melibatkan penyalahgunaan uang dan instrumen keuangan lainnya yang tidak lagi sekedar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan, beranak pinak dan berlipat ganda dalam waktu singkat tanpa menyisakan nilai riil. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.

Kondisi inilah yang dikenal luas dengan istilah “bubble economy” dalam ekonomi kapitalis. Pertumbuhan ekonomi yang dipicu sektor keuangan terlihat seperti balon yang terus membesar dan enak dipandang, tetapi pada suatu ketika akan pecah dengan menyisakan berbagai macam masalah ekonomi. Sistem ini telah menumbuhsuburkan ekonomi non-riil yang nilai transaksinya jauh lebih besar dari ekonomi riil. Bisa ditebak, kondisi terakhir akan memicu terjadinya inflasi dan akan “selalu” mendorong pemerintah untuk menaikkan rate SBI. Jika kondisi ini terus terjadi, maka decoupling antara sektor riil dan sektor keuangan akan selalu terjadi di muka bumi ini. Pada gilirannya, akan terjadi pula kesenjangan dan penumpukan modal abadi pada segelintir orang. Majalah The Economist dalam analisisnya terhadap krisis menggarisbawahi pandangan tersebut: ”penumpukan kekayaan dan bencana adalah bagian dari sistem keuangan Barat”.


Ekonomi Riil = Ekonomi Islam

Dalam perspektif Islam, tidak diragukan lagi bahwa anasir dari financially driven capitalism termasuk moral pelaku ekonomi itulah yang menjadi penyebab terjadinya krisis keuangan global sekarang. Hal ini ditegaskan juga oleh Khan (2008), bahwa faktor utama penyebab krisis keuangan sekarang adalah adanya praktek ribawi dan maysir (judi) yang melibatkan praktek spekulasi dalam pasar keuangan termasuk bermain valas. Dengan wujudnya anasir tersebut, maka bisa dipertegas bahwa karakteristik ekonomi kapitalis adalah ekonomi yang berbasis non-riil (semu).

Sistem bunga hanya akan melanggengkan status quo kaum kapitalis dalam penguasaan modal mereka. Dengan karakteristik “pasti untung” (pre-determined return) yang melekat pada bunga, maka kondisi ini akan membuka peluang bagi para pemilik modal untuk bertransaksi hanya di sektor keuangan dibandingkan di sektor riil yang sarat akan risiko. Tegasnya, adanya kepastian keuntungan akan menarik potensi pasar untuk mengalokasikan uang di pasar-pasar moneter. Riba, fiat money, dan fractional reserve system dalam perbankan dengan diperbolehkannya praktek spekulasi akan menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral) dan tersedotnya uang yang terkonsentrasi di sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa bersinggungan dengan risiko.

Akibat yang kemudian muncul adalah uang atau investasi yang seharusnya mengalir ke saluran sektor riil untuk tujuan produktif, sebagian besarnya mengalir ke sektor moneter, sehingga menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil. Penciptaan uang tanpa adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi dan akhirnya tujuan pertumbuhan ekonomi tidak dapat tercapai.

Dengan diharamkannya anasir financially driven capitalism yang berdampak buruk kepada laju perekonomian tersebut, ekonomi Islam dengan sistem bagi hasil dan penekanan kewajiban zakat akan berdampak positif bagi laju perekonomian yang berbasis sektor rill. Melalui sistem bagi hasil yang disertai dengan instrumen zakat berikut pelarangan riba dan segala bentuk spekulasi, maka akan mendorong iklim investasi yang akan tersalur dengan lancar ke sektor riil untuk tujuan yang sepenuhnya produktif. Hal ini akan menjamin terdistribusinya kekayaan dan pendapatan serta akan menumbuhkan sektor riil. Dengan meningkatnya produktifitas dalam bentuk kesempatan kerja dan usaha diharapkan mampu memicu pertumbuhan ekonomi, sehingga pada akhirya cita-cita mewujudkan masyarakat yang sejahtera dapat tergapai.

Dengan wujudnya zakat, dana yang tidak diinvestasikan akan mengalir kepada sektor riil melalui permintaan para mustahiq untuk memenuhi kebutuhan primer mereka. Kalaupun dana tersebut diinvestasikan, maka dengan dilarangnya riba dan maysir, maka sektor yang memungkinkan untuk mendapatkan pembiayaan adalah sektor riil. Sebagai ikhtitam, sudah saatnya pendulum sejarah ekonomi mengarah kepada aplikasi sistem ekonomi Islam yang berbasis shared prosperity bukan berbasis zero-sum game sebagaimana praktek ekonomi kapitalis. Wallahu A’lam

Senin, 29 September 2008

'Ied Mubarak

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengharap ridha-Nya,Kami sekeluarga mengucapkan
Taqabballahu Minna wa Minkum,
Minal 'Aidina wal Faizin..
Mudah-mudahan kita termasuk Minassuhadail Maqbulien..
Dan dipertemukan kembali pada Ramadhan berikutnya
Taqabbal Ya Kariem..

Wassalam,
Yulizar D. Sanrego
E. Nurrachmah
M. Arieq Taqiyullah

Kamis, 28 Agustus 2008

Ramadhan Kariem...

Salamullahi 'Alaikum Wabarakatuh..
Dear All..

Sebagai manusia yang penuh khilaf dan alpa, pada kesempatan ini saya beserta keluarga memohon maaf baik yang disengaja ataupun tidak disengaja. Semoga ibadah shaum pada ramadhan kali ini, kita diberikan kekuatan lahir batin untuk menjalankannya dan mendapatkan ridha-Nya. Taqabbalahu Minna Wa Minkum Taqabbal Ya Kariem. Allahumma Baarik Lanaa fi Sya'ban Wa Balillignaa Ramadhan..

" Do'a Malaikat Jibril Menjelang Ramadhan " "Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
* Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
* Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami istri;
* Tidak berma'afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Maka Rasulullah pun mengatakan Amiin sebanyak 3 kali.

Wassalam
Yulizar D. Sanrego Nz
E. Nurrachmah
M. Arieq Taqiyullah

Minggu, 24 Agustus 2008

ISLAM, LKMS dan UMKM

Yulizar Djamaluddin Sanrego Nz
Kepala LPPM Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia
(Artikel dimuat di majalah Ekonomi dan Bisnis Syariah, SHARING)

Akses finansial bagi rakyat miskin ditengarai merupakan alat yang ampuh dalam rangka pengentasan kemiskinan. Peran keuangan mikro sebagai ujung tombak dalam pengentasan kemiskinan telah mendapat pengakuan secara internasional. Pengakuan tersebut tercermin dari keputusan Sidang Majelis Umum PBB ke-53 (tahun 1998) yang menetapkan tahun 2005 sebagai Tahun Kredit Mikro Internasional (TKMI). Sidang tersebut ditindak lanjuti dengan Launching International Year of Micro credit 2005, di Markas Besar PBB, New York, oleh Sekjen PBB Kofi Annan pertengahan bulan November 2004.

Pembahasan mengenai besarnya peran yang bisa dilakukan oleh lembaga keuangan mikro (LKM) dalam memberikan pelayanan keuangan juga tidak luput dari penelitian Institute Research and Training Institute (IRTI) – Islamic Development Bank. Perhatian tersebut adalah dengan cara menggelar konferensi berseri tentang peluang dan tantangan keuangan Islam dalam memberikan pelayanan keuangan terhadap perkembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Konferensi pertama dilakukan IRTI bekerjasama dengan University of Brunei Darussalam tahun 2007 dan konferensi berikutnya akan digelar pada bulan Desember tahun ini di Bangladesh dengan mengusung tema yang sama.

Ada beberapa isu strategis yang menjadi konsen penulis seputar keuangan mikro ketika menjadi salah satu pembicara dalam konferensi Brunei adalah isu mengenai model pemberdayaan ekonomi yang bisa dilakoni oleh lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), isu mitigasi risiko yang besar kemungkinan dihadapi oleh LKMS, isu evaluasi bagi LKMS yang memerankan dwi fungsi sebagai entitas bisnis dan entitas sosial, dan terakhir isu mengenai peran instrumen keuangan Islam seperti zakat, infaq, shadaqah dan wakaf sebagai sumber dana murah LKMS. Artikel ini akan difokuskan pada pembahasan mengenai isu pertama yang berkaitan dengan model pemberdayaan yang bisa diperankan melalui aliansi strategis LKMS dan UMKM dan bagaimana pendekatan Islam dalam memahami peran strategis tersebut.

LKM dan UMKM

Berbicara mengenai UMKM, maka kurang sah kiranya kalau tidak melibatkan pembahasan mengenai lembaga keuangan mikro (LKM) demikian pula sebaliknya. Keduanya bak dua sisi mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Hal yang paling krusial lagi adalah bagaimana aliansi cantik antara keduanya berdampak positif bagi pengentasan kemiskinan dan permasalahan pengangguran.

Peranan usaha mikro kecil menengah (UMKM) terutama sejak krisis moneter tahun 1998 dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia di tahun 2001 lalu mengenai “Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis: Fakta, Penyebab, dan Implikasi Kebijakan” yang diterbitkan oleh Direktorat Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Tahun 2001, diungkapkan adanya pengakuan dari industri perbankan kita bahwa kredit yang disalurkan kepada UMKM adalah lebih minimal risikonya, dan UMKM ternyata memiliki kondisi usaha yang lebih sehat. Dibandingkan dengan usaha yang berskala besar, UMKM terbukti lebih tahan dan resisten terhadap krisis ekonomi (Tambunan, 2004).

Beberapa data dan informasi menunjukkan kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional. Kontribusi UMKM terhadap PDRB Indonesia mencapai 56.7 persen. Bandingkan dengan kontribusi yang bersumber dari ekspor nonmigas yang hanya mencapai 15 persen. Lebih dari itu UMKM juga memberikan kontribusi sebesar 99.6 persen dalam penyerapan tenaga kerja. Demikianlah struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Melihat konfigurasi tersebut, tidaklah berlebihan jika pengembangan UMKM khususnya untuk usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity. Pemberdayaan secara khusus terhadap usaha mikro yang mayoritas plafonnya dibawah lima juta merupakan langkah konkrit untuk memutus rantai kemiskinan yang membelenggu masyarakat selama ini.

Semangat dan kenyataan tersebut memberikan keyakinan terhadap kemampuan dan vitalitas UMKM dalam pengembangan perekonomian. Lebih jauh, perkembangan UMKM ini juga akan sangat berpotensi untuk memutus lingkaran kemiskinan masyarakat. Dalam konteks ini pula, UMKM selalu diasosiasikan dengan efek-efek positif terhadap beberapa isu seperti pendapatan Rumah Tangga, tabungan, pendidikan anak-anak, kesehatan dan nutrisi serta pemberdayaan perempuan. Lebih jauh Krisna Wijaya (2005) menyatakan bahwa kaitan antara pemberdayaan kredit mikro dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan pintu masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha pemula. Jika pengusaha pemula ini tumbuh dan berkembang akan terentaskan karena menjadi pengusaha atau karena trickle down effect dari semakin banyaknya pengusaha mikro.

Perkembangan sektor UMKM yang demikian menyiratkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik, jika hal ini dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat mewujudkan usaha mikro, kecil dan menengah yang tangguh. Namun, disisi yang lain UMKM juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang secara garis besar mencakup: pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan. Untuk yang terakhir sebagai lembaga keuangan formal hampir tidak masuk akal melakukan transaksi dengan pengusaha berskala mikro karena biaya transaksinya tinggi dan penuh risiko.

Dengan segala keterbatasan inilah maka akses dan pelayanan finansial yang mudah dan murah bagi UMKM menjadi solusi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, mutlak diperlukan. Bagi Indonesia yang memiliki lebih dari 40 juta unit UMKM, peran LKM menjadi sangat strategis dan urgen dalam rangka pengentasan kemiskinan. Peran yang ditegaskan dalam target Millenium Development Goals (MDGs): mengurangi separuh dari jumlah 1,2 milyar manusia yang kini hidup dalam kemiskinan yang parah di dunia.
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus menerus melayani kebutuhan mereka.

Perspektif Islam

Dalam konteks pembahasan LKM dan UMKM diatas, perlu juga kiranya membahas bagaimana pandangan Islam dalam memberikan pelayanan keuangan bagi masyarakat kelompok miskin yang mayoritas berada di sektor UMKM.

Sesungguhnya berbicara mengenai kemiskinan dalam perspektif Islam adalah merupakan suatu fenomena yang sangat dibenci kalau tidak dikatakan dharuri (urgent). Hadits Rasulullah saw menegaskan dan memperingatkan bahwa kemiskinan cenderung membawa seseorang kepada kekufuran.

Dua model pendekatan yang bisa digunakan dalam memberdayakan kelompok miskin, yaitu pendekatan tabarru’i (social approach) dan pendekatan tijari (commercial approach) yang didalamnya mengandung unsur pendidikan. Pendekatan pertama difokuskan kepada langkah sebuah institusi dalam memberikan pelayanan masyarakat miskin dalam menutupi kebutuhan dasarnya. Dalam pendekatan ini, unsur-unsur pendidikan bagi masyarakat sangat ditekankan termasuk pembangunan karakter agar masyarakat tidak selalu menjadi “tangan di bawah”. Ada upaya-upaya edukasi sehingga masyarakat pada gilirannya siap mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan finansial yang bersifat tijari.

Pendekatan tersebut akan relevan dan berjalan efektif jika data kemiskinan bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya. Meminjam klasifikasi Robinson (1993), peran LKM bisa dipetakan ke dalam tiga kelompok besar; pertama, masyarakat yang sangat miskin (the extremely poor) yakni mereka yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Kedua, masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor). Ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak.

Dalam pemetaan diatas yang harus dikritisi adalah dimana sesungguhnya peran serta LKM. Menurut Microcredit Summit (1997), definisi kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya, “programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their families.” Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun.

Jika merujuk kepada definisi tersebut, maka peran strategis LKM lebih relevan untuk dua kelompok terakhir. Dimana sasaran kelompok masyarakat miskin tersebut sudah memiliki kemampuan usaha dan paling tidak sudah bisa menutupi kebutuhan dasar mereka. Dalam perspektif muamalah Islam, maka pendekatan yang paling pas dengan kondisi masyarakat tersebut adalah melalui pendekatan tijari dengan asumsi bahwa kebutuhan dharuriyat (kebutuhan pokok) mereka telah terpenuhi dan paling tidak mengerti apa yang harus dilakukan dengan usahanya.

Terkait dengan akad tijari, Islam dengan sistem bagi hasil dan risiko (profit and loss sharing), pembiayaan yang akan diberikan betul-betul dialokasikan kepada kelayakan usaha maupun tingkat keuntungan yang diharapkan. Konsekwensi logisnya, hal ini akan berdampak pada upaya pengalokasian modal kepada pihak yang tepat sesuai dengan definisi microfinance diatas yaitu masyarakat yang berdiri diatas kemampuannya sendiri dengan kemampuan entrepreneurship yang jelas dan bukan sebaliknya.

Dengan demikian akan jelas bahwa dana yang dialokasikan akan digunakan untuk usaha-usaha sektor riil dan produktif yang akan berdampak luas bagi penyediaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Layak tidaknya suatu pembiayaan merujuk kepada fisibilitas sebuah usaha bukan harus bankable dengan sederet persyaratan yang memberatkan para usaha mikro. Tidaklah berlebihan jika Chapra (2000) menyatakan bahwa kerja institusi keuangan Islam termasuk LKM syariah (LKMS) lebih berat dibandingkan institusi keungan konvensional yang hanya bertopang hanya pada spread bunga antara kewajiban debitor dan kewajiban institusi kepada pemilik modal.

Khusus mengenai pendekatan terhadap kelompok masyarakat pertama, maka pendekatan yang bijak adalah dengan cara pendekatan tabarru’i. Sangatlah tidak bijak jika memaksakan masyarakat yang dihadapkan kepada beban untuk memenuhi kebutuhan dasarnya “dipaksa” untuk mengambil jatah pada akad tijari. Bagaimana masyarakat akan berpikir dengan normal sementara kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dengan layak. Inilah kemudian ditengarai menjadi penyebab terjadinya kredit macet, karena kredit atau pembiayaan yang sejatinya untuk usaha produktif digunakan untuk keperluan konsumtif. Dalam Islam, kewajiban negaralah untuk memastikan kebutuhan dasar masyarakatnya terpenuhi. Bukankah urusan ini tercantum dalam Undang-undang Dasar. Untuk kelompok masyarakat seperti ini, maka perlu proses yang relatif lama untuk menumbuhkan karakter entrepreurship sehingga tidak selamanya bermental ”tangan di bawah”.

Di dalam Islam, ada beberapa instrumen keuangan yang bisa dijadikan sebagai jaring pengaman sosial yang bisa dialokasikan untuk golongan masyarakat tersebut berupa zakat, infaq, shadaqah maupun wakaf (ZISWAF). Dalam konteks LKMS dan UMKM, adakah fungsi yang bisa diperankan oleh ZISWAF. ZISWAF bisa menjadi solusi alternatif bagi keterbatasan akses finansial yang dihadapi oleh LKMS dalam memberikan pelayanan finansial bagi UMKM. Dengan pemahaman yang sama, LKMS dengan institusi ZISWAF-nya bisa memberikan solusi bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang bersifat konsumtif dan bahkan bisa menutupi kebutuhan investasi UMKM.

Dengan dana yang relatif murah dan berkelanjutan, maka sumber dana bagi pembiayaan investasi berbasis sektor riil akan bisa dimaksimalkan. Dengan memaksimalkan peran dan fungsi sebagaimana definisi Baitul Mal wa Tamwil, Dompet Dhuafa (DD) sebagai contoh telah mampu memberikan kontribusi positif bagi pemberdayaan masyarakat dari sisi peningkatan pendapatan dan kemampuan berusaha mitra. Pada pemahaman ini, penulis ingin menegaskan bahwa harus ada demarkasi peran maupun pendekatan baik LKMS sebagai institusi tijari (commercial institution) dan institusi tabarru’i (social institution). Hal ini akan berdampak pada model evaluasi performa kedua model institusi tersebut.

Sebagai ikhtitam, mencari solusi bagi pelayanan atau akses finansial bagi UMKM tidak kemudian diberhenti dengan adanya LKM maupun LKMS. Ada beberapa hal yang menjadi isu kritis jika aliansi strategis antara UMKM dan LKMS tersebut diarahkan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Pertama, harus dipastikan bahwa instrumen riba tidak menjadi bagian dari agenda tersebut. Selalu saja ada ”gap ruang usaha” antara debitor dan kreditor. Dalam pemahaman ini, debitor murni berusaha di sektor riil, sementara kreditor hanya berkutat di sektor moneter. Selalu ada kompensasi dalam sistem bunga atas risiko usaha dengan bunga yang telah ditetapkan di awal (pre determined). Disinilah peran model pembiayaan dalam perspektif Islam layak untuk menjadi alternatif baik yang berbasis equity financing maupun debt financing.

Kedua, kalaulah aliansi strategis antara LKM dan UMKM menjadi kebijakan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, pemerintah harus memiliki data base tentang pemetaaan kelompok miskin yang valid dan up to date. Dengan begitu akan dipastikan dengan baik kelompok mana yang langsung mendapatkan pendekatan komersial dan mana yang sesuai dengan model pendekatan sosial. Harus ada langkah-langkah konkrit yang harus dilalui oleh masyarakat ketika harus berangkat dari pendekatan sosial untuk kemudian layak mendapatkan pendekatan komersial. Ada proses edukasi bagi masyarakat yang harus dilalui dalam pendekatan sosial sehingga meningkat dan layak mendapatkan pelayanan keuangan berbasis komersial.

Pemerintah sebagai penyelenggara program harus belajar dari pengalam program BLT yang salah sasaran akibat dari ketersediaan data yang out of date. Khusus untuk pendekatan sosial, instrumen keuangan Islam berupa ZISWAF pada prakteknya sekarang bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan dasar masyarakat dan dana pendidikan atau technical assistance dalam rangka membangun karakter (character building) masyarakat miskin yang tangguh dan memiliki keahlian kewirausahaan.

Last but not least adalah keberpihakan pemerintah yang betul-betul serius dalam menciptakan infrastruktur yang kuat dalam mendorong pertumbuhan sektor riil khususnya di bidang pertanian yang memang menjadi comparative advantage bagi bangsa Indonesia termasuk lingkungan makro yang kondusif dan sehat bagi keberlanjutan iklim investasi. Wallahu A’lam

Kamis, 14 Agustus 2008

Pembiayaan Defisit Negara Bebas Bunga

Medio Desember, 2005. Gombak-Malaysia

Negaraku Indonesia ternyata sudah berhutang semenjak awal berdirinya ketika dipimpin oleh Sukarno. Sukarno meninggalkan beban hutang sebesar 2 miliar dolar Amerika Serikat kepada Suharto. Demikian pula Suharto yang mewariskan 150 miliar dolar AS sebagai hutang luar negeri kepada penerusnya, Abdurrahman Wahid. Hingga kini, Megawati menyimpan akumulasi hutang sebesar 700 triliun rupiah. Semuanya dijadikan alasan untuk pembangunan. Intinya pembanguan Indonesia dijalankan atas dasar hutang (ekonomi hutang).
Maksud hati ingin membangun Indonesia yang sejahtera apa daya malah malapetaka turunan berupa beban hutang kepada generasi yang hidup sesudahnya. Terlalu gegabah untuk membangun diatas hutang sementara sumber daya belum memiliki kapasitas yang “mumpuni” dalam mengelola bangsa yang bukan main luas dan ‘sophisticated’ ini.
‘No free lunch’, itulah ungkapan ekonomi yang pas ketika kita berhutang kepada orang lain. Ada beberapa syarat yang harus kita penuhi selaku orang yang berhutang untuk mendapatkan hutang. Begitu pula halnya dengan Indonesi ketika ingin berhutang. kebanyakan hutang Indonesia adalah hutang yang mengandung nilai bunga (riba) yang dipinjam dari World Bank, IMF, dan negara-negara donatur lainnya.
Disinilah sebenarnya “kehinaan” sebuah negara bermula. Kenapa tidak? Apabila kita sudah terjebak dalam lingkaran hutang, dengan sendirinya bukan hutang material saja yang timbul, tetapi kita juga telah terjebak dalam hutang budi dan jasa. Bila ini terjadi, maka dengan sendirinya kita harus memenuhi keinginan negara pemberi hutang tidak hanya terhadap syarat-syarat yang disebutkan dalam perjanjian hutang (debt-agreement), tetapi juga terhadap konsekwensi yang terjadi akibat berhutang tersebut.
Dampak negatif dari berhutang dalam sistim ekonomi ribawi adalah keharusan negara penghutang untuk membayar hutangnya plus bunga hutang dalam keadaan apapun, apakah pinjaman mereka menguntungkan atau tidak. Kewajiban membayar hutang ini pada masa jatuh tempo jelas akan menurunkan nilai Rupiah akibat keharusan kita untuk membayar hutang dalam bentuk nilai mata uang asing (dalam hal ini Dolar Amerika). Pembayaran ini akan menyebabkan semakin tingginya permintaan uang asing sehingga nilai uang asing semakin tinggi, sementara itu nilai Rupiah semakin merosot.
Ketidakmampuan untuk membayar hutang ketika jatuh tempo akan menyebabkan bunga hutang akan semakin membengkak dari waktu ke waktu, apalagi pemerintah harus membayar bunga atas bunga (interest on interest) yang belum terlunas. Lebih lanjut, dinamika sistim ribawi akan berdampak pada perbedaan pendapatan antar negara kaya dan negara miskin semakin terus melebar. Dalam skala global seperti yang dilaporkan oleh United Nations Human Development tahun 1996, sebanyak 358 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan lebih dari 2.5 juta orang termiskin di dunia.
Kemudian, penggunaan dana pinjaman asing yang tidak optimal dan dialokasikan pada sektor-sektor non-produktif seperti digunakan untuk membiayai aktivitas rutin pemerintah jelas akan mempersulit kemampuan negara untuk membayar hutang. Bahaya lain dari hutang adalah bila kebanyakan komposisi hutang itu adalah hutang jangka pendek, bukan hutang jangka panjang, maka masa jatuh temponya akan terjadi dalam waktu yang relatif singkat sehingga pengaliran sumber dana pembangunan ke luar negeri juga akan terjadi dalam waktu yang cepat sehingga akan menghambat pembangunan ekonomi yang lebih stabil.
Kemudian, sistim manajemen dana pinjaman luar negeri yang penuh dengan kebocoran (leakages) akibat praktek kolusi, korupsi, dan nepostime (KKN) yang tidak bertanggung jawab justeru membuat posisi ekonomi Indonesia semakin parah. Suatu yang sangat ironis sekali berlaku dikalangan elit pemerintah dan ekonomi Indonesia sekarang, ketika mampu mendapat pinjaman luar negeri babak baru dalam rangka pembiayaan defisit, mereka malah bangga bahwa Indonesia masih dipercayai oleh dunia internasional. Bukankah ini suatu tindakan bodoh? Sepatutnya kita merasa malu harus terus dirundung hutang, bukan malah merasa bangga.
Pembiayaan Defisit Negara Dalam Islam
Ketika terjadi depresi hebat melanda Amerika pada tahun 1930an, seorang John Maynard Keynes mempertanyakan kebijakan negara (supply side) sekaligus menyalahkannya. Baginya, demi tercapainya pertumbuhan ekonomi maka demand side yang diusung oleh pemerintah harus menjadi prioritas. Lemahnya permintaan dari masyarakat (private demand) memerlukan stimulus yang kuat dari sisi permintaan melalui government spending untuk menciptakan kesempatan lapangan kerja, meningkatkan level investasi, tingkat konsumsi maupun income masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak positif pada peningkatan tenaga kerja, daya beli atau konsumsi masyarakat dan pada akhirnya mendorong kepada daya permintaan masyarakat yang tinggi sehingga timbullah kemudian pertumbuhan ekonomi. Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang masih terpuruk, tidak ada salahnya kita mencoba untuk mengaplikasikan kebijakan deman side ala Keynes ini. Permasalahannya kemudian adalah darimana Indonesia mendapatkan dana untuk mensupport kebijakan demand side tersebut? dengan asumsi negara mengalami deficit pembiayaan.
Dalam Islam, Rasul mengajarkan kepada pengikutnya untuk menghindarkan diri dari beban hutang Dalam sebuah do’anya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i:
"Ya Tuhan, aku berlindung kepadaMu... daripada beban hutang (ghalabat al dayn) dan daripada dikuasai orang (qahr al-rijal).
Tentu ada sebabnya mengapa kalimat "beban hutang" itu berurutan dengan ungkapan "penguasaan orang". Itulah sebenarnya yang sedang kita alami ketika ini. Akibat beban hutang yang tak tertanggung, kita terjerumus dalam dominasi kuasa-kuasa ekonomi kapitalis dunia.
Kalaupun menghutang adalah merupakan salah satu jalan maka hal tersebut betul-betul harus bebas dari bunga. Dalam konteks inilah kemudian Islam menawarkan beberapa instrumen yang bisa digunakan sebagai wasilah negara untuk mendapatkan dana bebas bunga dalam rangka pembiayaan deficit maupun investasi. Dalam konteks ini, Malaysia selangkah lebih maju dalam upaya mempraktekkan Islamic instrument seperti Qardhu Hasan Bond, Muqaradah/Mudarabah Bond, Global sukuk Bond atau Sukuk Ijarah Bond untuk menopang keperluan finansial negara termasuk pengeluaran negara (Government spending).
Secara umum, ada dua cara Bank Islam maupun Lembaga Keuangan Islam lainnya mampu memobilisasi dana pihak ketiga untuk pembiayaan proyek sektor publik (infrastuktur). Pertama, dengan cara bagi hasil (Muqaradah/Mudarabah) yang bisa diaplikasikan untuk beberapa proyek yang mampu menghasilkan keuntungan terukur seperti dalam bentuk pembayaran penggunaan tol, dan proyek pengadaan pelayanan pemerintah lainnya. Dana yang termobilisasi dengan framework seperti ini bisa diberikan return berupa prosentase bagi hasil dari keuntungan yang didapat.
Kedua, dana bisa dimobilisasi dengan menjual pada harga lebih tinggi dari biaya pelayanan atau manfaat dari infrastruktur tertentu yang dibeli dengan cara kredit dari investor swasta. Dalam konteks ini, investor swasta yang membangun infrastruktur untuk negara mengharapkan keuntungan dari investment yang dia lakukan. Dalam hal ini, lapangan terbang bisa dibangun oleh perusahaan swasta, lokal maupun internasional, dan dijual ataupun disewakan kepada pemerintah yang membayar secara angsuran dengan uang yang dihasilkan dari pajak lapangan terbang, pembayaran parkir pesawat maupun pembayaran service airport lainnya.
Hal ini yang dilakukan oleh pemerintah Pakistan. Bank dan institusi keuangan di Pakistan memperkenalkan “Participation Term Certificates” (PTCs); transferable corporate instrument yang berdasarkan prinsip bagi hasil dan kerugian (PLS) dan bertujuan menggeser peran debentures untuk pinjaman (interest based debenture) jangka menengah maupun jangka panjang untuk industri maupun pembiayaan sektor lainnya. Dalam kaitan ini, John Harrington dari Universitas Seton Hall, New Jersey, Amerika Serikat memberikan sugesti bahwa PTCs bisa digunakan sebagai sarana pembiayaan bangunan publik yang disewakan kepada pemerintah. Pemegang PTCs akan mendapatkan keuntungan dari uang sewa yang dibayar oleh negara dan juga keuntungan jika bangunan tersebut dijual dalam harga tinggi. PTCs model ini akan mengurangi keperluan hutang negara, menyediakan keuntungan yang menarik bagi investor dan memungkinkan untuk diperjualbelikan di pasar modal.
Penerbitan instrument investasi tersebut dapat dipandang sebagai terobosan baru dalam sistim keuangan syariah dan merupakan jawaban atas diharamkannya riba dan dihalalkannya jual beli dalam Islam. Sukuk bukan instrumen utang piutang dengan bunga (riba), seperti obligasi yang kita kenal dalam keuangan konvensional, tetapi sebagai instrument investasi. Sukuk diterbitkan dengan suatu underlying asset dengan prinsip syariah yang jelas.
Bila upaya pencarian dana tersebut dilakukan secara Islami, maka efek negatif dari hutang tidak akan pernah terjadi dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Posisi bangsa kita tidak lagi menjadi bangsa “budak” akan tetapi menjadi rekan (partner) bagi para investor dalam menjalankan praktek bisnis. Kita akan betul-betul merasa merdeka dalam arti yang sesungguhnya ketika kita tidak lagi didikte dengan berbagai macam persyaratan yang justeru membuat kita terus terpuruk dalam kemiskinan yang mengancam kedaulatan bangsa.
Yang pasti, penerbitan sukuk sebagai instrument investasi yang dilakukan beberapa negara merupakan natijah dari political will masing-masing negara tersebut. Bagaimana dengan Indonesia? Sudah saatnya pemerintah Indonesia melakukan kebijakan untuk secara total putus hubungan dengan lembaga donatur Internasional yang menerapkan sistim bunga dan beralih kepada kebijakan pemerintah untuk mengkaji dan menerapkan instrumen investasi syariah yang bercirikan asas partnership. Sudah saatnya kita harus “merdeka” dari beban hutang ribawi yang membuat kita malah terus terpuruk dalam kemelaratan yang berkepanjangan.

Selasa, 12 Agustus 2008

AN EMPIRICAL ANALYSIS OF ISLAMIC STOCK RETURNS IN MALAYSIA

Paper ini dipresentasikan di The Iinternational Conference on Islamic Capital Markets Products, Regulation and Practices with Relevance to Islamic Banking and Finance - Jakarta INDONESIA. Muamalat Institute - IRTI IDB

Ditulis bersama Hamdia Chapakia, Lecture & Researcher, Prince Songkla University, THAILAND

ABSTRACT

This paper seeks to investigate the dynamic relationship among Shariah index, Composite index, and three-month Treasury bill rates in Malaysia for the period of April 1999 until December 2003. It also attempts to analyze the causality among the variables in the short run as well as in the long run. We employ the standard time series analysis, which includes descriptive statistics, unit root test, cointegration, Granger causality and Vector Error Correction Model (VECM). The results in our study indicate that the Treasury bill rates (TBILL) have the highest return, followed by the Shariah index (LNSI), and the Composite index (LNCI). There exists a stable long-run equilibrium relationship between the Composite index and the Shariah index. For causality, the results indicate that only two models are significant in the short run. First, the Shariah index causes the Composite index. Second, the three-month Treasury bill rates cause the Shariah index. The results from VECM affirm that that the Composite index and the Shariah index have a bidirectional relationship both in the short run and in the long run. Meanwhile, the Treasury bill rates do not affect the Composite index and the Shariah index in the short run, but it will affect them in the long run. The result contradicts the findings of Hakim and Rashidian (2002) which indicate that in the U.S stock market, there is an absence of a stable long run relationship between DJIM and the W5000. They conclude that the indexes might be influenced entirely by independent factors. For our present study, given the diversified nature of the Composite index, the Muslim investors are not going to be worse off investing in Shariah compliant stocks as both the Shariah and the Composite indexes are influenced by similar factors.

JEL Classification: C22, G10
Keywords: Islamic Stock, Shariah Index, Composite Index, Time Series Analysis

Redefine Micro, Small, and Medium Enterprises Classification and the Potency of Baitul Maal wa Tamwiel as Intermediary Institutions in Indonesia

Paper ini dipresentasikan di First International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development (University of Brunei Darussalam and IRTI-IDB)

Ditulis bersama Ascarya, Peneliti Senior Bank Indonesia

ABSTRACT

The micro, small, and medium enterprises (MSMEs) in Indonesia are considered as the most sustainable and crisis proof business entities. They are ranged from street seller and home industry to small factory with total asset up to Rp5 billion. The current classification of MSMEs seemed too broad so that the real micro businesses of the poor and low income society are not well catered by the government. Therefore, MSMEs classification should be redefined to be able to reach the poor and low income society, to assist and guide them to move their businesses up until graduated and self reliant. The proposed super micro enterprises are those personal businesses with asset less than Rp10 million and credit limit of less than Rp5 million. Meanwhile, micro enterprises are businesses with asset Rp10 – Rp100 million and credit limit Rp5 – Rp50 million. Moreover, small and medium enterprises are similar to those old classifications. When a company has grew bigger than medium scale, it considered to have graduated from needed assistance. This new proposed classification is intended to assist each business level to step the ladder up until graduated. Meanwhile, the most proper Islamic financial institutions to provide Islamic financial services to MSMEs, especially super micro and micro enterprises are Baitul Maal wa Tamwiel (BMT) that have natural characteristics to interact with them in their own habitat, since BMTs are spread out in the rural and suburban areas throughout Indonesia. With this, it is expected that unemployment be reduced and welfare of the poor and low income society can be improved.

JEL Classification: G23, G28
Keywords: Micro Business, Baitul Maal wa Tamwiel, Micro Finance

Menanti Undang Undang Sukuk

(Artikel ini dimuat di Harian Republika)

Ditulis bersama Irfan Syauqi Beik, Dosen FEM IPB, Kandidat Doktor Ekonomi Islam IIU Malaysia

Pertumbuhan pasar keuangan syariah semakin menunjukkan peningkatan yang luar biasa dari tahun ke tahun. Beragam indikator menunjukkan bahwa kinerja pasar keuangan syariah dunia semakin membaik dan semakin menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya. Komisi Sekuritas Malaysia menyatakan bahwa nilai total aset 300 lembaga keuangan syariah di seluruh dunia, termasuk lebih dari 80 perusahaan asuransi syariah, diperkirakan telah melebihi angka 1 triliun dolar AS. Kemudian sekitar 350 reksadana syariah telah didirikan dengan net asset value lebih dari 300 miliar dolar AS.
Lembaga pemeringkat rating terkemuka Standard and Poor's bahkan telah mengkalkulasikan bahwa potensi pasar keuangan syariah dunia sesungguhnya mencapai angka 4 triliun dolar AS. Meski demikian, pangsa pasar keuangan syariah dunia masih berada pada kisaran angka 10 persen bila dibandingkan dengan total pangsa pasar keuangan global.
Perkembangan sukukSalah satu instrumen keuangan syariah yang saat ini tengah berkembang pesat adalah sukuk, atau obligasi syariah. Sejak Bahrain mengeluarkan sukuk yang pertama di dunia, yaitu sukuk Salam senilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001, nilai sukuk di pasar global menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Diperkirakan saat ini nilai sukuk global telah mencapai angka 70 miliar dolar AS, dan diprediksi akan menyentuh angka 100 miliar dolar AS pada tahun 2010 (Standard and Poor's, 2007).
Hingga saat ini Malaysia masih mendominasi pasar sukuk, di mana dua per tiga sukuk dunia diterbitkan di bursa negera tersebut. Diprediksi dalam satu dekade mendatang, sukuk akan semakin memainkan peran yang sangat signifikan, terutama dalam membantu perusahaan-perusahaan maupun negara-negara yang membutuhkan pendanaan bagi pengembangan mega proyek infrastruktur. Bahkan di Timteng sendiri, peluang investasi yang ada dalam satu dekade mendatang diperkirakan mencapai angka 1 triliun dolar AS.
Yang menarik adalah, instrumen sukuk ini ternyata juga mampu menarik para investor non-Muslim. Setelah perusahaan Saxonat sukses menerbitkan sukuk senilai 100 juta Euro di Jerman, pemerintah Inggris pun tengah merencanakan untuk mengeluarkan sovereign sukuk pertamanya pada tahun 2008, dalam upaya untuk menjadikan London sebagai pusat keuangan syariah dunia, sebagaimana diisyaratkan oleh PM Gordon Brown. Jepang pun telah menunjukkan minat yang sama, dan merencanakan untuk menerbitkan sukuk senilai 3.00 juta dolar AS hingg 500 juta dolar AS, bekerja sama dengan Bank Negara Malaysia.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa sukuk telah menjadi fenomena global yang bersifat lintas agama, budaya, dan bangsa. Di satu sisi, hal tersebut membanggakan dan menunjukkan universalitas serta komprehensivitas ajaran Islam. Namun di sisi lain, hal tersebut menuntut kerja keras dan kesigapan Indonesia untuk mengambil setiap peluang yang ada. Jika tidak, maka peluang tersebut akan dimanfaatkan oleh negara-negara lain yang notabene sudah sangat maju.
Meski lebih lambat, Indonesia pun berusaha untuk memainkan langkah yang proaktif dalam mengembangkan pasar keuangan syariahnya. Bahkan, upaya untuk memperkuat pasar modal syariah telah dinyatakan secara eksplisit dalam Master Plan Pasar Modal Indonesia 2005-2009. Bapepam sebagai otoritas pasar modal, telah mengeluarkan beberapa peraturan yang terkait dengan pasar modal syariah, seperti Peraturan No IX.A.13 tentang Penerbitan Sekuritas Syariah dan Peraturan No. IX.A.14 tentang Kontrak/Akad Syariah terkait dengan penerbitan sekuritas syariah tersebut. Dan yang baru saja dikeluarkan adalah Daftar Indeks Syariah. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, penerbitan Daftar Indeks Syariah ini merupakan sebuah terobosan yang perlu dihargai.
Namun demikian, market share sukuk di Tanah Air masih sangat kecil, yaitu 2,5 persen (atau senilai Rp 3,17 triliun) dari keseluruhan penerbitan obligasi. Kemudian nilai aktiva bersih (NAB) reksadana syariah pun masih sangat kecil, berkisar pada angka Rp 1,2 triliun atau 1,7 persen dari total NAB seluruh reksadana yang ada. Mudah-mudahan ke depannya, pangsa pasar ini akan semakin tumbuh dan berkembang.
Manfaat UU SBSNDi antara solusi mendesak yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan sukuk dan bursa syariah Indonesia adalah dengan disahkannya RUU SBSN Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) menjadi undang-undang. UU tersebut diharapkan dapat memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi penerbitan sukuk, terutama sukuk negara. Dalam banyak studi dan riset, faktor regulasi ini menjadi variabel yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan pasar modal, termasuk pasar modal syariah. Ada banyak manfaat yang akan diraih oleh bangsa ini jika RUU tersebut dapat segera disahkan. Dari sudut pandang investor, undang-undang tersebut akan memberikan jaminan kepastian hukum yang lebih besar. Selanjutnya, dukungan regulasi dan kebijakan yang tepat dan terencana akan menjamin efektivitas penerapan good corporate governance sekaligus peningkatan daya saing, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Bernard S Black (2001) dalam risetnya terhadap bursa Korea Selatan. Dari riset itu dia merekomendasikan sejumlah reformasi kebijakan strategis yang perlu dilakukan pemerintah Korsel dalam meningkatkan iklim investasi dan menciptakan pasar modal yang lebih kompetitif.
Keuntungan lainnya, keberadaan undang-undang tersebut diyakini dapat mendorong pengembangan (inovasi) produk sukuk. Inovasi ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan dapat menjadi mesin pertumbuhan (engine of growth) bagi industri keuangan syariah. Ayub dan Kawish (2007) dalam studi mereka tentang Bursa Syariah Malaysia, menyimpulkan bahwa inovasi produk yang dihasilkan dari dukungan regulasi dan kebijakan yang sangat kuat, adalah faktor utama yang menjadikan bursa syariah Malaysia menarik bagi arus investasi. Sehingga tidaklah mengherankan jika pada tahun 2006 lalu, volume penerbitan sukuk di Malaysia telah melebihi separuh dari total volume penerbitan obligasi secara keseluruhan. Dari 116 obligasi yang diterbitkan, 64 di antaranya adalah dalam bentuk sukuk.
Bagi perekonomian secara keseluruhan, UU SBSN tersebut nantinya diharapkan dapat memainkan peran yang lebih besar dalam menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga mampu mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Karena itulah, penulis memandang bahwa tidak ada alasan bagi DPR dan pemerintah untuk tidak segera merealisasikan terwujudnya undang-undang tentang sukuk ini. Penulis berkeyakinan, dengan komitmen kuat DPR dan pemerintah, maka pasar modal syariah Indonesia akan menjadi semakin berkembang dan semakin kompetitif, sehingga mampu menjadi gerbang masuk investasi yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini.

SUAP DAN KORUPSI DARI PERSPEKTIF EKONOMI

Ditulis oleh Dr Andi Irawan

Suap, korupsi dan berbagai variannya adalah suatu perilaku yang secara normatif dibenci tetapi umum dilakukan dalam realitanya. Karena itulah mengapa kemudian para ekonom yang memegang paradigma potivisme tidak suka menjudge secara moral tentang perilaku ini. Bagi mereka suap dan korupsi hanyalah merupakan keniscayaan perilaku ekonomi manusia. Sebagai makhluk ekonomi, manusia punya motif personal untuk memaksimalkan keuntungan dari kepemilikan sumberdaya, dana bahkan kekuasaan ekonomi dan politik yang mereka miliki. Ekonom positivisme lebih suka menyebutnya dengan bahasa yang sangat netral bahkan terkesan sangat santun, korupsi dan beragam variannya disebut sebagai transaction cost, policy cost atau administrative cost.
Transaction cost adalah suatu keniscayaan biaya yang harus dikeluarkan dalam interaksi (baik legal maupun ilegal) antara pengusaha dengan pengusaha dan antara pengusaha dengan penguasa. Kita mungkin sudah pernah mendengar tentang istilah fee atau komisi yang merujuk pada sejumlah dana yang harus dikeluarkan dalam proses menuju kesepakatan untuk mendapatkan pasar, omzet, dan proyek.
Policy cost adalah dana yang harus dikeluarkan seseorang atau pihak tertentu agar lahir kebijakan publik, undang-undang atau keputusan hukum atau peraturan yang menguntungkan dirinya. Beberapa kasus anyar tentang perilaku policy cost ini antara lain; 1) Kasus dana yang dikeluarkan Bank Indonesia kepada komisi IX DPR RI periode 1999-2004 untuk memperlancar lahirnya undang-undang Bank Sentral, 2) Kasus gratifikasi terhadap anggota Komisi IV DPR RI dalam kasus alih fungsi hutan lindung di Tanjung Siapi-api Sumsel dan Bintan. Dan 3) yang paling anyar adalah kasus suap Artalyta terhadap oknum jaksa dari kejaksaan agung.
Dan administrative cost, adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk urusan administrasi yang di luar batas ketentuan untuk mempercepat atau mempermudah proses administrasi. Contoh fenomena ini adalah pada kasus dana yang harus dikeluarkan para eksportir dan importir kepada sejumlah oknum aparat Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai Tanjung Priok untuk mempermudah mekanisme perizinan ekspor dan impor. Selanjutnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Schmid (1987) ketiga jenis biaya illegal tersebut sering disebut dengan terminologi transaction cost saja.
Transaction cost memang menguntungkan dalam sudut pandang pelakunya (persepektif myopik). Tetapi tentu saja merugikan dalam persepektif yang holistik, khususnya ketika kita melihat dampaknya terhadap pembangunan bangsa secara berkelanjutan. Korupsi telah menumpulkan kemampuan negara mensejahterakan rakyatnya. Sulitnya pengentasan kemiskinan terjadi ketika dana-dana publik yang ditujukan untuk rakyat miskin terdistorsi alokasinya akibat korupsi. Kolusi antara para elite politik korup dan elite ekonomi serakah menyebabkan kekayaan sumberdaya alam yang terkandung dalam bumi ibu pertiwi tidak menjadi berkah tetapi musibah dan kutukan berkelanjutan. Akibatnya, perusakan lingkungan yang hebat (environmental hazard) tak terelakkan. Dan, ketika environmental hazard ini terjadi, menurut Ramcharan (1983), bukan hanya memustahilkan pemenuhan hak-hak dalam kategori sosial ekonomi pada pihak lain, khususnya atas orang-orang miskin seperti hak atas pangan (right to food), hak atas kesehatan (right to health), hak atas perumahan (right to housing), dan hak atas pekerjaan (right to work). Dan ketika korupsi menginfeksi lembaga hukum maka tak pelak lagi berakibat hukum bukan melahirkan keadilan tetapi kezaliman.
Tidak ada negara yang menjadi maju dengan marak dan tingginya perilaku suap dan korupsi. Mereduksi perilaku ini adalah kerja besar perlu political will dan inovasi-inovasi baru dalam menimbulkan efek jera. Dalam konteks itu, kita layak memberi apresiasi terhadap teknik yang dilakukan oleh KPK terhadap penangkapan para pelaku suap dan korupsi yang menyebabkan para pelakunya sulit berkelit.
Tetapi walaupun begitu ada satu catatan penting yang layak kita sampaikan dalam pemberantasan perilaku suap dan korupsi, yakni hukuman yang diberikan kepada para pelaku korupsi belum menimbulkan efek jera yang berarti. Hal itu tidak lain karena hukuman terhadap pelakunya masih terlalu ringan. Dalam persepektif ekonomi, hukuman yang berat diperlukan untuk memberikan forward expectation (ekspetasi ke depan). Ekspetasi ini selanjutnya akan mempermudah lahirnya pengambilan keputusan oleh setiap orang bahwa “biaya (sosial-ekonomi-politik dan hukum)” yang mereka harus keluarkan dari perilaku tersebut jauh lebih besar dari “manfaat sosial ekonomi” yang diterimanya sehingga ke depan perilaku suap dan korupsi tersebut bukanlah bagian dari perilaku yang fesibel untuk dilakukan oleh siapapun. Dalam konteks itu pula maka ide yang menyatakan bahwa korupsi sebagai extraordinary crime terhadap bangsa yang meniscayakan pelakunya dihukum mati layak untuk dipertimbangkan implementasinya.

Senin, 11 Agustus 2008

PREDICTING THE PROBABILITY OF CONSUMER FINANCING DEFAULT IN ISLAMIC BANK: LOGISTIC BINARY REGRESSION MODEL

(Proposal Riset ini dipresentasikan di INCEIF ISLAMIC BANKING AND FINANCE EDUCATIONAL COLLOQUIUM 2006 - Bank Negara Malaysia (BNM), Kuala Lumpur - MALAYSIA)

Penulis mendapatkan juara ketiga untuk kategori proposal Phd

I. INTRODUCTION

I.A. Rationale
The expansion of Islamic banking industry in Indonesia was rapidly developed in the last two years. Apart from the increase of people’s trust, such positive development could be observed from the emergence and the growth of shariah banking chain. Within the last two years time frame, until December 2005, Bank Central of Indonesia (BI) reported that there exist three full-fledged Islamic banks (BUS) and 19 business shariah units (UUS), with 183 branch offices in all over Indonesia compare to BI report in the year December 2003 with only two BUS, 8 UUS and 116 branch offices.
Such a good achievement is also challenge for Islamic Banking industry to present and perform a well manage institution in the sight of customers. It is therefore, Islamic Banking industry obliged to deliver excellent services to their customer. One of bank’s tasks that have to be extra paid attention is risk management in credit for both borrowers and lenders. For this reason, banks and financial institutions started to revise their lending policies.
Analysis and management of credit risk has taken on an increased importance in recent years. New regulations such as BASEL II force banks and other financial institutions to make credible efforts to chart and manage the risks associated with their client portfolio. In addition, harder competition in the financial markets has also increased the need to monitor the risk/reward relationship for various customers.
Credit defaults are one of the main sources of loss for a bank. The definition of corporate default risk is the counterpart failure to comply with their obligations to service debt. This risk is critical since the default of a small number of important customers can get generate large losses, potentially leading the bank to insolvency.
It is therefore according to Prof. Sam N. Basu (1994), well credit analysis will have great contribution toward proper decision making. Further, he stated that credit analysis has two major objectives; first, to assist bankers in credit lending decision correctly. second, to assist bankers keeping away from unviable credit lending decision.

There are basically six functional responsibilities associated with credit lending activities; (1) assessment of the customers credit risk, (2) making the credit granting decision with regard to credit terms and, where relevant, credit limits, (3) collecting receivables (debts) as the fall due and taking action against defaulters, (4) monitoring customer behavior and compiling management information, (5) bearing the risk of default or bad debt, (6) financing the investment in receivables (debtor) (Summer and Wilson, 2000).

On top that, there at least five standards (5C) that has been applied so far by banking industry to deal with lending process (Kasmir, 2005); character, capacity, capital, condition and collateral. It is 5C that being used by bankers to analyze whether customers credit worthy. These five standards are having similarities with the data being used in the research done by Ozlem Ozdemir et. al (2004). The study aimed to examine the relationship between the consumer credit clients’ payment performance and some demographic variables (such as marital status, sex, age, residential status, occupation) and some financial variables (such as income, loan size, interest rate, maturity, credit category).

The present research is important for three reasons. First, the research will go beyond what have been done by many previous studies. Many previous studies were focused more on the relationship between lender’s decision and the characteristics of the consumer credit applicants and the relationship between the characteristics of people that are already accepted (clients) and whether they are paying back their loans on time or not i.e. payment performance. Second, by predicting credit default probabilities, a bank will have a chance to minimize the expected default or misclassification rate subject to some exogenous acceptance rule (Carling et al., 1998). Third, no research has been done on characteristics consumer financing applicant and/or clients of any Islamic bank, which will be different from conventional one.

For the purpose of the study, we collect the data on the characteristics of the credit clients (by mean of 5C) of the two biggest full-fledged Islamic banks in Indonesia, namely Bank Muamalat Indonesia (BMI) and Bank Syariah Mandiri (BSM).

I.B. Research Objectives
In line with the above rationale, therefore, the objectives of this research are:
1. To deliver the relationship between lender’s decision and the characteristics of the consumer applicants.
2. To analyze the relationship between the characteristics of applicants that are already accepted (clients) and whether they are paying back their loans on time.
3. To deliver strategic analysis for shariah banking to minimize the probability of default (non performing loan).
4. To deliver information with regard to the potential development of shariah banking which based on the analysis of applicants characteristics.


I.C. Research Benefits
The potential benefits from the finding of this of research are as follow:
1. As information with regard to potential development of shariah banking from lending strategy model side.
2. As information with regard to potential factors that might influence the probability of default.
3. As information with regard to the importance of prudentially aspect by looking at applicants characteristics.
4. As information with regard to the characteristic of shariah banking clients

I.D. Research Coverage
The scope of this research is will be encompassing the analysis of shariah banking improvement by looking at the probability of its clients default. The research will look deeply into the characteristics of Islamic bank clients that might have positive/negative relationship with default ness.

Research coverage analysis will be comprise of the two biggest full-fledged Islamic banks in Indonesia, namely Bank Muamalat Indonesia (BMI) and Bank Syariah Mandiri (BSM). It will cover approximately 100 respondents from both of these banks, which are granted loan between the years 2003-2004. The criteria of the area is based on the potential and actual condition, whereby both of the banks are the two biggest full-fledged in Indonesia recently.

The following section gives a brief review of related research and theoretical framework, then, the conceptual model used in this study followed by explanations on data, methodology, and statistical analysis used. Last but not least, the schedule and the flow of the research are presented for the purpose of consistency.


II. Previous Research and Theoretical Framework

The previous literature on consumer credit can be categorized in two parts; the studies on consumer credit applicants examining the lenders’ decision to grant the loan and the studies on consumer credit clients examining the borrowers' ability to pay the loan. There are many studies on scrutinizing and improving the rejection and acceptance criteria of credit lenders’ decisions.

Jappelli (1990), for example, investigates lenders’ and borrowers’ behaviors in consumer rationing activities for the United States’ credit market in 1983. He found that most of the applicants are rejected because of their credit history, their age or their income. Amount of collateral, which is a property, offered by borrowers to secure a loan in case of delinquency, is another important factor affecting credit-granting decision. Time spent at current job, time spent at current address, job, type of work, family size, sex, and race is found to be less effective on credit decision.

Crook (1996) replicates Jappelli’s (1990) study with 1989 data and examines whether the client characteristics, which predict the probability of households being credit constrained, have changed or remained the same between years 1983 and 1989 in the United States. According to his study, more years of schooling of a household head would also be expected to increase future income, with consequent increases in the household’s demand for credit and the supply. Unlike Jappelli, he argued that having received more education enables a potential borrower to be more capable to forecast his/her payback ability, helping the decision of lender. There is tenuous evidence that the probability of default decreases with age. In the case of family size, there is clear evidence that the probability of default increases as the number of children increases.

Roszbach K. and Jacobson T. (1998) built a statistical model in order to measure the risk of sample loan portfolio and show how the model helps to evaluate alternative lending policies. They found that income does not affect credit-granting decision and being a male significantly decreases the chance of being granted a loan. In addition, homeowners have more chance of being granted a loan. Although researches are mostly interested in evaluating the lenders’ decisions on granting loans to credit applicants, the results of previous studies are contradictory.

Not many studies are done to investigate the relationship between characteristics of people that are already accepted (client) and whether they are paying back their loans on time or not. Carling K., Jacobson T., and Roszbach K (1998) examine the Swedish consumer credit clients’ payment performance. According to their study, married applicants tend to pay back their loans faster. A possible reason might be the existence of two wage earners in the Swedish families, which leads to a stable flow of income.

Alternatively, it could reflect the fact that married couples is simply more diligent. Surprisingly, they found a negative relationship between incomes and default risk and the size of limit having no influence on payment performance, whereas increasing the loan size delay payback. Sexton D. E. (1977) analyzes the credit risk in two types of American families: (i) low-income families; (ii) high-income families. Aim of his study is to find out whether or not the variables associated with good credit risks among high-income families are similar to those for low-income families. His study does not analyze the extent of the impact of the independent variables on the dependent variable. However, its numerical results indicate that married couples and homeowners tend to pay their debt on time. On the other hand, credit default risk decreases when the income and age increase.

Ozlem Ozdemir and Levent Borant came up with a logistic binary regression model to explore the relationship between consumer credit client’s payment performances i.e. credit default risk and some demographic and financial variables. Their empirical results indicated that financial variables rather than the demographic characteristics of clients have a significant influence on customers’ pay back performance. Thus, the longer the maturity time, the higher the interest rate, and the higher the credit default risks.

Different from these studies, the current research examines not only the relationship or the effect of regressors on the payment performance of consumer credit clients of a bank, but also trying to predict the probability of consumer default. The following section gives brief information about the empirical model used for this purpose and its data as well.

III. Research Methodology and Data
III.A. Data
We construct a conceptual model to predict the probabilty of consumer credit default in Islamic Bank by using primary data obtained from consumer loans and through consumer credit records as well (Bank annually report). The dataset will be individuals from Bank Muamalat Indonesia (BMI) and Bank Shariah Mandiri (BSM) who were granted a loan between the year 2003-2005. In this case, the loans are either still paying regular installments and its margin or has been amortized completely. Our data contains credits, which are repaid monthly with installments that are constant along the payback period.

The hypothesis for each independent variable to express our expectation about the relationship between each independent and the consumer financing default are stated below:

1. H1 : There exist the relationship between character and the probability of consumer financing default in Islamic Bank.

2. H1 : There exist the relationship between capacity and the probability of consumer financing default in Islamic Bank.

3. H1 : There exist the relationship between capital and the probability of consumer financing default in Islamic Bank.

4. H1 : There exist the relationship between condition and the probability of consumer financing default in Islamic Bank.

5. H1 : There exist the relationship between collateral and the probability of consumer financing default in Islamic Bank.

III.B. Research Methodology
For researh purposes, we employ Logistic Binary Regression Model (LBRM) which will be discussed briefly in the following:
III.B.1. Chi-Squared Test of Contingency Table
Chi-Squared test of contingency table is used to determine whether two variables in population are independent.
Hypothesis :
H0 = The two variables are independent
H1 = The two variables are dependent
Chi-Squared test of contingency table between observed frequency with expected frequency based on:
whereby :
χ2 = Value for random variable which sampling distribution approches chi-squared distribution.
oi = observed frequency for cell-i
ei = expected frequency for cell-i
III.B.2. Logistic Binary Model
Logistic regression method as linear regression, is statistic analysis tool which trying to describe the relationship between dependent variable and one or more independent variables. (Agresti, Alan 1990)

The basic different between linear regression and logistic regression is lies on its dependent variable. Dependent variable in linear regression is binary variable or dichotomous in logistic regression. The independent variable in logistic regression coul be categorical variable or interval variable. Whereas in linear regression, either dependent variable or independent variable must be scaled interval.

Conditional opportunity for dependent variable which has criteria determined by , therefore logistic binary regression model for such function is:
In the comprehension of Generalized Linier Model, relationship function that well fitted with logistic regression model is logit function. Logit transformation as a function of stated as follow (Hosmer and Lemeshow, 1989):
Logistic regression analysis is used to detect the influence of independent variable integratedly toward dependent variable. To obtain the best model, required some crucial steps. First, creating model which accomodate all independent variables and reduce unobvious independent variables statistically by mean of Wald-test statistic. Following afterward comparing the original model with its reductional one by employing G-test statistic.
III.B.3. Parameter Estimation Logistic Regression
Parameter estimation in logistic regression model could be done by using maximum likelihood method which obtained by reducing its probability of density joint function. Such probability of density joint function is expressed by:

Logistic regression coefficient could be found by maximazing logarithm from its maximum likelihood function.

III.B.4. G-test Statistics
Once we have the above probability regression model, following afterward is doing test for the compatibility of logistic model being made. Statistical test for this purpose is G-test. G-test statistic is likelihood ratio test used to test the role of independent variables jointly. General formula for G-test statistic is (Hosmer and Lemeshow, 1989):
L0 = Likelihood value without indpt varbls
L1 = Likelihood value with all indpt varbls

III.B.5. Wald-test Statistics
Wald-test is used to test parameter βi partially (Hosmer and Lemeshow, 1989), based on the hypothesis below:
H0 :
H1 : ; i = 1, 2, 3, ..., p

whereas, its statistical test is:
; whereby:
= estimation of
= Standard Error estimation of
The decision theorem is that rejecting null hypothesis if , which meant that (Hosmer & Lemeshow, 1989).

III.B.6. Coefficient Interpretation
Coefficient interpretation in logistic regression model uses odds ratio value. Odds ratio is a tool to measure association as to estimate how identical, close that has dependent variable for the purpose of estimation result. Odds ratio needs not normal distribution variables and do not exist homoskedastic between variables. In logistic regression, Odds ratio defined as follow:
where is coefficient from logistic regression model. Odds ratio has confidence interval as stated below (Hosmer and Lemeshow, 1989): .

III.C. Methodology Flow
The flow of methodology is as follow:
1. Find out the relationship between independent variables and dependent variable one by one.
2. Parameter estimation using logistic regression.
3. Parameter testing in logistic regression by mien of G-test statistics and Wald-test statistics to observe the influence of independent variable toward dependent variable.
4. Eliminate independent variables that having no significant influence toward dependent variable so that repeat the third step; until find out the best independent variable that having significant influence toward dependent variable.
5. For the purpose of coefficient interpretation (prediction), we employ odds ratio value as a tool.


IV. Research Flow Chart
Formulation of an Estimate Theoretical Model
Collection of Data
Model Estimation
Interpret Model
Economic or Financial Theory (Previous study)

Is the model statistically adequate?

Reformulate Model
No
Yes
Use for Analysis

V. Research Schedule (Tentative)
The detailed research schedule is attached.

VI. References
Agresti, Alan. (1990), “Categorical Data Analysis”, Toronto: John Wiley & Sons, inc.

Basu, Sam N. (1994), “Strategic Credit Management”, Toronto: John Wiley & Sons, inc.

Carling K., Jacobson T., Roszbach K. (1998), “Duration of Consumer Loans and Bank Lending Policy: Dormancy Versus Default Risk”, Working Paper Series in Economics and Finance, 1-28

Conant C. A. (1899), “The Development of Credit”, The Journal of Political Economy, 161-181.

Crook J. (1996), “Credit Constraints and US Households”, University of Edinburg, 477-485.

Danielian, N.R. (1929), “The Theory of Consumers’ Credit”, The American Economic Review, 393-411.

Feess E., Schieble M. (1998), “Credit Scoring and Incentives for Loan Officers in a Principal Agent Model”, 1-24.

Guillen M., Artis M. (1992), “Count Data Models for A Credit Scoring System”, European Conference Series in Quantitive Economics and Econometrics on Econometrics of Duration, Count and Transition Models, 1-9.

Hall R. E., Mishkin F. S. (1982), “The Sensitivity of Consumption to Transitory Income: Estimates from Panel Data on Households”, Econometrica, 461-482.

Hayashi F. (1985), “The Effect of Liquidity Constraints on Consumption: A Cross-Sectional Analysis”, Quarterly Journal of Economics, 183-206.

Holthause D. McC. (1952), “A Critical Evaluation of Available Consumer Credit Statistics”, Journal of Finance, 372-387.

Hosmer, David W and Lemeshow, Stanley. (1989), “Applied Logistic Regression”, Toronto: John Willey & Sons.

Jappelli T. (1990), ”Who is Credit Constrained in the U.S. Economy?”, Quarterly Journal of Economics, 219-234.
Jappelli T., Cox D. (1993), “The Effect of Borrowing Constraints on Consumer
Liabilities”, Journal of Money 197-213.

Japelli T., Fissel G.S. (1990), “Do Liquidity Constraints Vary Over Time? Evidence From Survey and Panel Date”, Journal of Money, 253-262.

Jappelli T., Pagano M. (1994), “Saving, Growth, and Liquidity Constraints”, The Quarterly Journal of Economies, 83-108.

Kasmir. (2002), “Dasar-dasar Perbankan”, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Mariger R. P. (1987), “A Life-Cycle Consumption Model with Liquidity Constraints: Theory and Empirical Results”, Econometrica, 533-557.

Neter J., Kutner M.H., Nachtheim C.J., Wasserman W. (1990), Applied Linear
Regression Models, Chapter 14, Third Edition, Ricard D. Irwin Inc, US.

Ozdemir, Ozlem., Boran, Levent. (2004), “An Empirical Investigation on Consumer Credit Default Risk”, Discussion Paper 2004/20, http://www.tek.org.tr/

Roszbach K., Jacobson T. (1998), “Bank Lending Policy, Credit Scoring and Value at Risk”, 1-25.

Ryan T. A., Minitab Handbook (1985), Minitab Inc., PWS-KENT Publishing
Company, Boston.

Sexton D.E. (1977), “Determining Good and Bad Credit Risks Among High and Low Income Families”, Journal of Business, 236-239.

Siddiqi, Muhammad Nejatullah. (1984), ”Issues in Islamic Banking”, Pustaka, Bandung.

Smith W.L. (1957), “Consumer Installment Credit”, The American Economic Review, 966-984.

Summers B., Nicholas Wilson (2000), “Trade Credit Management and the Decision to Use Factoring: An Empirical Study”, Journal of Business Finance & Accounting, 37-67.

Young P. C., Smith M. L, Williams C.A. (1998), Risk Management and Insurance, Third Edition, Irwin/McGraw-Hill, US.

Zeldes S.(1989), “Consumption and Liquidity Constraints: An Emprical Investigation”, Journal of Political Economy, 305-346.

Menuju Pusat Keuangan Syariah Internasional

(Artikel dimuat di Harian Republika)

Sangat menarik untuk mencermati kemungkinan Indonesia menjadi hub/atau pusat keuangan syariah Asia Tenggara pada 2012 sebagaimana diberitakan harian ini pada edisi 18 April 2008 lalu. Apresiasi ini muncul karena baru ada pengesahan UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang menjadi landasan penerbitan sukuk negara.
Banyak potensi dana yang bisa didapatkan negara dalam rangka membiayai proyek-proyek negara demi kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan. Pengakuan dalam bentuk UU tersebut memberikan jaminan kepastian bahwa Pemerintah Indonesia bisa mengeluarkan instrumen pembiayaan tersebut.
Jika potensi proyek-proyek infrastruktur ditambah dengan potensi berkembangnya sukuk korporasi yang bernilai ratusan miliar dolar AS dipenuhi melalui pembiayaan syariah, tidak mustahil Indonesia akan menjadi pemain penting di keuangan syariah internasional. Potensi menjadi pusat keuangan syariah internasional terbuka lebar. Indikasinya bisa dicermati dari sukuk global Malaysia yang bernilai 600 juta dolar AS, sementara sukuk global Indonesia diproyeksikan mencapai satu miliar dolar AS (Abushamma, 2008).
Pro-kontra instrumen sukukYang harus dipahami secara bijak oleh berbagai pihak dari fungsi sukuk ini adalah pemerintah maupun sektor swasta akan mendapatkan asupan dana yang tidak sedikit bagi pengembangan proyek infrastruktur maupun bisnis korporasi. Pada pemahaman ini instrumen sukuk betul-betul menjadi salah satu instrumen penjaringan dana investasi yang berbasis syariah bagi pemerintah maupun sektor swasta.
Melalui penerbitan instrumen ini, pemerintah bisa membangun berbagai proyek infrastruktur untuk kepentingan masyarakat. Seperti yang terungkap dalam Indonesian Infrastructure Fund (IIF) bahwa pembangunan sektor publik dan infrastruktur sampai 2010 mendatang membutuhkan dana lebih dari 80 miliar dolar AS, termasuk untuk pembangunan sektor publik di perdesaan, perkotaan, maupun proyek-proyek besar. Proyek itu bisa berupa jalan tol, sektor telekomunikasi, migas, dan energi listrik.
Alokasi dana tersebut tidak termasuk dana rehabilitasi Provinsi Aceh dan Sumut pascabencana gempa dan tsunami. Proyek sektor publik dan infrastruktur yang dibangun ditargetkan dapat menjadi pemicu berkembangnya sektor lain dan menjadi sarana dan prasarana bagi percepatan investasi di Indonesia.
Selain potensi dana investasi bagi pemerintah, penerbitan sukuk juga akan mendorong perkembangan sukuk korporasi. Hal ini senada dengan yang telah disampaikan oleh Menteri Perumahan Rakyat Yusuf Asy’ari bahwa penerbitan sukuk bisa digunakan untuk korporasi pengembang properti. Bahkan, jauh sebelum UU SBSN ditetapkan, Indosat sudah mengeluarkan sukuk korporasinya pada 2002 dan akan menerbitkan kembali untuk kali ketiga pada bulan April ini senilai Rp 500 miliar.
Yang lebih menarik lagi, instrumen sukuk ini tidak hanya mampu menarik investor Muslim, tapi juga investor-investor non-Muslim. Di Jerman perusahaan Saxonat mengeluarkan instrumen ini dengan nilai 100 juta euro. Inggris yang ingin menjadikan London sebagai pusat keuangan syariah internasional juga berencana mengeluarkan sukuk pertamanya.
Usaha yang sama juga ingin dilakukan oleh Pemerintah Jepang melalui berbagai kajian tentang hal tersebut yang diinisiasi langsung oleh Kementerian Keuangan dengan membentuk Study Group for Islamic Finance. Di sini jelas sekali bahwa instrumen sukuk telah menjadi fenomena global (borderless) yang bersifat lintas agama, lintas budaya, dan lintas bangsa.
Di satu sisi, hal tersebut membanggakan dan menunjukkan universalitas dan komprehensivitas ajaran Islam (rahmatan lil’alamin). Namun, di sisi lain, hal tersebut menuntut kerja keras dan kesigapan negara-negara Muslim yang ada, termasuk Indonesia untuk mengambil setiap peluang yang ada. Jika tidak, peluang tersebut akan dimanfaatkan oleh negara-negara Barat yang notabene memang sudah sangat maju.
Potensi dan tantangan Adanya pengesahan UU SBSN merupakan anugerah bagi masyarakat Indonesia maupun bagi dunia internasional. Paling tidak ada dua isu strategis yang berkaitan dengan potensi permintaan instrumen sukuk negara, permintaan sukuk pasar dalam negeri dan permintaan sukuk pasar internasional.
Potensi permintaan pasar domestik bisa dicermati dari jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim terbesar di dunia. Kedua, jumlah emiten atau issuersyang melakukan penawaran efek syariah masih relatif sedikit. Ketiga, pangsa pasar sukuk di Indonesia masih sangat kecil, yaitu 2,5 persen (atau senilai 3,17 triliun rupiah) dibandingkan produk konvensional dari keseluruhan penerbitan obligasi.
Kondisi tersebut juga ditambah dengan nilai aktiva bersih (NAB) mutual fund (reksadana) syariah pun masih sangat kecil, berkisar pada angka Rp 1,2 triliun atau 1,7 persen dari total NAB seluruh reksadana yang ada. Dari potensi permintaan instrumen sukuk pasar internasional bisa dicermati dengan pesatnya pertumbuhan aset pasar keuangan syariah (kurang lebih 15 persen per tahun). Kedua, pengembalian dana-dana Timur Tengah pascakejadian 9/11. Ketiga, masih terbatasnya jenis dan jumlah instrumen keuangan syariah baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Keempat, terus meningkatnya peringkat kredit Indonesia.
Selain dari isu potensi pasar domestik dan potensi pasar internasional maupun dukungan regulasi berupa pengesahan UU SBSN, ada beberapa isu penting lain yang harus segera di lakukan oleh pemerintah dalam rangka menciptakan pusat keuangan syariah dunia. Pertama, selain adanya jaminan hukum berupa undang-undang, juga perlu disusun secara lebih sistematis kerangka hukum (regulatory framework) guna memfasilitasi pengembangan pasar modal syariah.
Tentunya dengan dukungan regulasi dan kebijakan yang tepat dan terencana akan menjamin efektivitas penerapan good corporate governance sekaligus peningkatan daya saing, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Bernard S Black (2001) dalam risetnya terhadap bursa Korea Selatan. Kedua, pemerintah juga selazimnya membangun pola kelembagaan guna mempercepat pengembangan pasar modal syariah ,institutional building, termasuk mengintegrasikan bursa-bursa syariah di seluruh dunia. Ketiga, pemerintah juga harus inovatif dalam mengembangkan produk-produk pasar modal yang berbasis syariah (//syariah compliance//), termasuk pengembangan sumber daya yang memiliki peran sentral .
Peran pemerintah dalam menciptakan lingkungan investasi yang kondusif perlu sehingga bisa menghilangkan atau paling tidak mengurangi kecenderungan terjadinya yhigh cost econom dalam rangka menarik para investor luar negeri, termasuk investor Timur Tengah yang saat ini tengah menghadapi kelebihan likuiditas. Penulis berharap akan terjadi aliran dana investasi melalui instrumen sukuk yang kemudian dapat digunakan untuk membiayai pembangunan di sektor riil dan menjadikan Indonesia pusat keuangan syariah internasional.

GOLD DINAR IN INTERNATIONAL TRADE: STRATEGIC POSITIONING IN INDONESIA MONETARY SYSTEM

(Paper dipresentasikan di Seminar Akademik Ekonomi Pertama - Universitas Indonesia, 2005. Dipublikasikan di Jurnal Tazkia Islamic Finance & Business Review)

Ditulis dengan Co-Author Handi Risza Idris

Abstract


Paper ini mengelaborasi implikasi dari ditinggalkannya standar emas, sejak runtuhnya sistem Bretton Wood hingga diterapkannya sistem uang kertas (fiat money system). Sistem ini berdampak pada terjadinya krisis finansial dan ketidakadilan dalam transaksi perdagangan internasional. Bisa dinyatakan kalaulah sistem moneter yang berlaku sekarang masih dipertahankan, maka praktek-praktek spekulasi, manipulasi dan arbitrasi dalam pasar valas akan selalu tumbuh subur. Dengan alasan inilah, paper ini mendesak untuk mempraktekkan sistem ekonomi yang berbasiskan sistem emas; mengembalikan peran emas dan perak sebagai alat transaksi, sistem nilai bagi barang dan alat pembayaran jasa yang akan menyelematkan masyarakat global dari ketidakstabilan sistem moneter yang berlaku sekarang. Dalam konteks transaksi perdagangan internasional, paper ini mencoba menawarkan konsep Bilateral Payment Agreement (BPA) dan Multilateral Payment Agreement (MPA) berbasis emas sebagai salah satu cara alternatif bagi pelaksanaan perdagangan dalam sistem moneter Indonesia. Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia yang memiliki potensi menjadi pioner yang mengimplementasikan secara efektif transaksi perdagangan internasional dengan emas khususnya antara negara-negara Muslim. Proposal penggunaan emas sebagai alat pembayaran perdagangan dengan pola BPA dan MPA tidak akan merubah mekanisme yang telah berlaku. Perbedaan terletak pada penggunaan emas/dinar sebagai alat transaksi perdagangan menggantikan mata uang kertas.

Keywords: Gold Dinar, Bilateral Payment Agreement (BPA), Multilateral Payment Agreement, Fiat Money System.
JEL Class: E42, F13


1. INTRODUCTION
Indonesia has an opportunity to be establishing to implement successfully the utilization of gold within the prospect of international trade settlements. It is divided essentially into several sections. Section two introduces the reasons rationales of using gold for international trade. Section three traces and defines gold, gold dinar and international trade, and the settlement aspects. Section four discusses the Implementing the gold dinar in bilateral payment arrangements (BPA) and Multilateral payment arrangements (MPA). Section five, Issue relating to the utilization of gold in International Trade Settlements and the last section is conclusions and policy recommendations.

2. RATIONALES FOR USING GOLD FOR INTERNATIONAL TRADE
Since the early days of Islam to the height of its empire, Islam paved the way to vast business opportunities and international trade. The mainstream of Islamic economy was trade and this was aggressively pursued during the first 800 years of its inception. A combination of several economics and political factors, including the ability to mobilize adequate resources, were responsible for the increased prosperity of the Islamic world. These factors provided a great boost to international trade. Islam treats the world as a single entity separated by artificial borders only for the limited purpose of preserving each race’s culture and heritage. The middle ages have established a highly sophisticated international financial network established supporting between Muslim communities. This system appears to have been the most extensive and highly developed of the time, and remained so until the banking system created by the west finally outstripped in the 16th century.
In an effort to inter-alia, forge Muslim cooperation in the international trade arena and as a key initiative to prevent a repeat of the currency crisis that maligned Asia in 1978-1998. According to Dr. Mahatir Mohammad, he proposes that the gold dinar be used for international trade. He highlighted that paper currency had no intrinsic value, making the exchange rate “arbitrary and subject to manipulations as we saw during the Asian financial crisis. The uses of gold dinar is seen as first step move toward unifying the currency used in commercial dealings between the Islamic countries and it is also a first step move toward placing the shariah in a prominent position in our monetary system as implemented during the time of prophet Muhammad s.a.w and the rightly guided caliphs.
The shariah has attached many illegal injunctions relation to these two precious metals including in relation to the minimum value oh theft, payment of diyah, zakat and overall transaction. The prophet s.a.w himself has approved the use of gold and silver as money and he permitted the use of the roman and Persian gold and silver coins. Gold and silver became extricable linked to Islam as a system of currency through the prophets approval and through the link with the hudud of Allah and zakat. For example, the prophet mentioned:

“zakat can be paid on money only if the nisab exceeds 20 gold dinars, and that hudud can be implemented on a theft only if what he stole exceeds a quarter of a dinars”

Islam has, since it’s beginning, taken the view that the only currency which should be used determine the price of good consist of gold and silver. This is due to the fact that gold and silver are two precious metals, which can best function as a medium of exchange, measures of value and store of wealth for the human community. The quran informs us that these precious metals will always be desired by mean:

“Alluring to men is the love of things they covet, women and sons, hoarded treasures of gold and silver, and highly bred horses, cattle and land.”
(Surah Ali Imran, 3:14)

Ibn Khaldun’s thinking that was potrayed in his book “The Muqadimah” is also illuminating (Ibn. Khaldun, Muqadimah, Vol. 2, at 353-354):

“God created the two mineral stones, gold and silver, as the measure of value for all capital accumulations. Gold and silver are what the inhabitants of this world, by preface, consider treasures and property to consist of. Even if, under certain circumstances, other things are acquired, it is only for the purpose of ultimately obtaining gold and silver. All other things are subject to market fluctuations, from which and silver and gold are attempt. They are the basis of profit, property and treasure.”

The prophet s.a.w forbade Muslim from using utensils made of gold and silver or using decoration or as male jewelers. These prohibitions reflect the temperament and disposition of Islam. Gold and silver metal should only be used for coinage (M.S. Sanusi. It was also reported that the prophet s.a.w prayed for the continuation of the gold standard for the ummah to exist as a prosperous community. The Prophet s.a.w has said “the prophet s.a.w has said “ a time of certainty coming over mankind, in which there will be nothing left which will be use save dinar and a dirham” (Musnad Imam Hambal)
In effect, it is clear that using gold (and silver) in general, and for trade in particular, is a paradigm that is very much encouraged and pivotal for the muslim ummah.


3. HISTORY OF GOLD DINAR AND INTERNATIONAL TRADE
3.1. GOLD DINAR
History of reveals that gold and silver coins of different denominators from different countries were in circulation in Arabia in the pre-Islamic period. This was because the Arabians were basically merchants who traveled to the roman, Byzantine and Sassanian empires and caravans from other countries also passed through Arabia. Mecca at that time was a cosmopolitan town and a center for foreign exchange and credit transaction. Barter transactions, involving a diverse array of goods from many parts of the world, were not easy to negotiate. For this reasons, gold and silver coins of various origins were widely in circulation among the Arabs.
During the lifetime of the prophet (s.a.w) the minting (sikka) of money was still at a primitive stage. The prophet (s.a.w) himself did not establish a mint, as existing supplies of imported Byzantine gold coins and Arab –Sasanian silver coins were sufficient to meet the limier local demand. The prophet (s.a.w) noticed that trade and business were appraised in gold and silver which was used as currency (thanam ra’ij) but did not forbid people from dealing in it. He did, however, issue a few amendments.
For example, coins of the same metal should not be exchanged except when of equal weigh and the possession is passed on simultaneously. Credit in currency exchange transaction was prohibited as this may lead to riba. He permitted the exchange of dirhams for dinnar with the conditions that the exchange must take place simultaneously at the price of the day.
At the time of the prophet (s.a.w) a monetary system predominated which used gold dinar coins weighing 4.25 grams and silver dirham coins weighing 2,975 grams. After the death of the prophet (s.a.w) neither the first caliph, Abu Bakr (r.a.a.), or the second caliph, ‘Umar ibn – Khattab (r.a.a), made any alteration to the system. However, when the Muslim ruled territories became vast, problem set in. matters came to a head after a dispute between Umayyad Caliph Abd al –Malik and the kind of Byzantium over the used of Byzantium coinage. As a result Abd Malik ordred the minting of Islamic dinars and dirhams. The new gold and silver coins with with arabic legends were introduced about the year A.H.75. The weighing of these coins was in conformity with practice of the prophet (s.a.w) with regard to the obligation of paying zakat without loss of excess. Thus, the prophet’s tradition was followed and the Islamic community agreed to the new currency with quranic quotations on the coins. So Islamic dinar became the basis of the Islamic monetary system.
According to the Islamic law, the dinar is a specific weight of 22-carat gold equivalent to 4.25 grams with a parameter of 23 millimeters. This standard has been set since the era of prophet Muhammad s.a.w and continues to be recognized and used by the world Islamic trading organization (WITO) until today. Another currency inherited from the Islamic tradition is silver dirham, which is a specific weight of silver equivalent to 3 grams. One dinar is equivalent to approximately RM 165 while one dirham is equivalent to approximately RM 2.65. History revealed that for around 2,500 years the universal currency was made up of small pieces of gold and silver called coins. They had survived for two millennia despite numerous attempts by many governments to manipulate them and replace them with their own medium of exchange (Umar Vadillo, “The return of the Gold Dinar”).
While they serve the same needs of an economy, the gold dinar system is in absolute contrast to the existing fiat money system. Amongst the major differences between the two systems are as follows:
Dinar
Fiat Money
Is commodity – based, ie. Based on gold and silver. Therefore it has intrinsic value.
Is based on supply and demand. Has no intrinsic value.
Does not need a government to issue it, in fact, it does not need rules or regulation, laws or official control. It only needs the individual freedom to possess and use gold and silver coins. With an implicit elimination of all taxes imposed on their use.
Issued and managed by governments by means of the political and economics process. Thus, it can be expended and contracted at will, and as such as it can be inflated to complement the tax income.
A naturally international currency notwithstanding different names and various weights standards. After all, an ounce of gold is an ounce of gold whether minted in the form of sovereign or eagles.
Only recognized within the boundary of the issuing government. May lose its value totally upon collapse of the government or crisis in the economy.
Cannot be inflated by printing more of it; cannot be devaluated by government decree, and unlike paper currency it is an asset which does not depend upon anyone’s promise to pay
All forms of paper assets: bonds, shares, and even bank depositors are promises to repay money borrowed. Their value is dependant upon the investor’s belief that the promise will be fulfilled.

3.2. INTERNATIONAL TRADE
Generally, international trade involves the flow of good and services across national frontiers. International trade has grown dramatically in the last fifty years. In great measure, this is because the world’s nations have cooperated in eliminating protectionist domestic legislation and in promoting the free exchange of goods.
International trade is an essential element in the process of globalization in a word that is fast becoming a “borderless world” or a “global village”. It is deemed beneficial since the gains from trade can be obtained through increased specialization, the realization of comparative advantage, diffusion of international knowledge, and increased efficiency in the domestic economy. Trade openness can drive growth both directly, through its impact on resources allocation and efficiency, and indirectly, by raising the returns to investment. Consequently, any sort of protection that restricts trade is considered as a source of distortions in international markets and should “ideally” be eliminated.
The establishment of the world trade organization (WTO) on January 1st, 1995, as a successor to the General Agreement and Trade (GATT) plays an important role in promoting free trade in the globalization process. Its primary objective is to advance trade liberalization and provide a secure world trading system. The WTO is devoted to the institutional and procedural structure that will facilitate and in some cases, are necessary for effective implementation of the substantive rules that have been negotiated in the Uruguay round second, the WTO will essentially continue the GATT’s institutional ideas and many of its practices in a form better understood by the public, media, government, officials and lawyer. Third, the WTO structure offers some important changes for assisting the effective implementation of the Uruguay Round (Jacson, JH)
An important consequence of the agreement in the WTO is that the playing field has now been leveled for all countries regardless of where the country stands in the international economic scenario. Developing countries will have to complete with the developed countries on an equal footing. The question that arises now is how this will affect the developing countries, particularly the Muslim countries, given their status quo in the international markets and the recent debacle in Cancun (Ruzita and Alavi).

4. IMPLEMENTING THE GOLD DINAR IN BILATERAL PAYMENT ARRANGEMENTS AND MULTILATERAL PAYMENT ARRANGEMENT
Bilateral or Multilateral Payment Arrangement (BPA or MPA) is one of the alternative ways available for international trade settlement. Generally, BPA is a system of monetary obligations arising from trade between pairs of countries. Under this arrangement, approved authorities, normally the central banks participating countries that have entered into such an arrangement will pay each other or guarantee payments for imports undertaken by corporate and individual residents in the respective countries. Effectively, this arrangement converts the commercial risk relating to trade into a sovereign risk. The objectives of the arrangement are mainly to promote bilateral trade and to foster closer bilateral economics and banking relationship. Under the conventional system of BPA, the exporter is paid in this local currency to his country’s central bank or designated bank while the importer pays in local currency to his country’s central or designated bank. At the end of the agreed period, the bank will contra their account to determine which country has a deficit and the balance in the trade would be settled in an agreed currency by both parties.

4.1. BILATERAL PAYMENT ARRANGEMENT
The BPA gold dinar model is shown in table 1. When Indonesian trades with Malaysia, for example, the gold accounting is kept through the medium of the central banks and only the net difference between the two is settled periodically by way of transfer of an equivalent amount of gold. Hence every transaction in essence involves gold “movement”. A physical transfer of gold from one country to another is not necessary though, but only a transfer of beneficial ownership in a gold custodian’s account.

Table 1: Gold in Bilateral Payment
Gold Dinar (Million)
Export to
Indonesia
Malaysia
Total Export
Indonesia
X
2.0
2.0
Malaysia
1.8
X
1.8
Total Import
1.8
2.0
3.8


The custodian role can be played by the Islamic Development Bank (IDB), the bank of England or preferably by some other non-interest – based non – money-creating institution. The role of the gold custodian should decreased the probability of default by any of the parties involved, increased efficiency and thereby bring confidence into the system. However, any gold that needs to be settled can always be brought forward and used for future transactions and settlements. Where it is not possible to transfer the gold, payment can be made by way of an equivalent amount in other acceptable currencies using real time gold price as the exchange rate.

Table 2: Gold in Bilateral Payment
Gold Dinar (Million)
Countries
Export
Import
Net Payment
Indonesia
2.0
1.8
+0.2
Malaysia
1.8
2.0
-0.2


As example, consider that Indonesia and Malaysia sign bilateral payments arrangements where trade balance are to be settled every three months. Say, in particular three-month cycle, Indonesia export 2 million gold dinar worth of good and services to Malaysia while importing 1.8 million gold dinar (see table 2). Hence and Indonesia has a surplus trade of 0.2 million gold dinar with Malaysia and Malaysia need to settle only this difference of 0.2 million gold dinar (see table 2). The actual payment can be by way of the Malaysia central bank transferring 0.2 million ounce of gold in its custodian’s account, say, in the bank of England in London, to Bank Indonesia’s account with the same custodian. The important point to note here is that, under this mechanism, a relatively small amount of gold (0.2 million gold dinar) is able to support a much larger trade value (3.8 million gold dinar). In other word, we optimize the use of foreign exchange. Even countries with little or no foreign exchange reserves can participate significantly in international trade under this mechanism.
However, the amount of 0.2 million gold dinar could be used for settling future trade imbalances between the countries and hence a physical gold transfer between the countries is not necessary. This simple structure considerably reduces. If not eliminates, exchange rate risk.

4.2. MULTILATERAL PAYMENT ARRANGEMENT
The Multilateral Payment Arrangement (MPA) is similar to the BPA, but it involves more than two countries and, therefore, makes the whole system more efficient. Let’s illustrate this using three countries, namely Indonesia, Malaysia, and Brunei (see table 3).

Table 3: Gold in Multilateral Payment Arrangement (MPA)
Gold Dinar (Million)
Export to
Indonesia
Malaysia
Brunei
Total Export
Indonesia
X
2.0
1.5
3.5
Malaysia
1.8
X
2.0
3.8
Brunei
1.7
1.7
X
3.4
Total Import
3.5
3.7
3.5
10.7

Let us assume that the volume of trade between Indonesia and Malaysia was the same as in the BPA example, and we add the additional trade of these two countries with Egypt, as shown in table 3 above.
Now a total trade of 10.7 million gold dinar takes place among the three countries but with a net payment of only 0.1 million gold dinar. The only payment required is for Brunei to pay Malaysia 0.1 million gold dinar (table 4).



Table 4: Gold in Multilateral Payment Arrangement
Gold Dinar
Countries
Export
Import
Net Payment
Indonesia
3.5
3.5
Nil
Malaysia
3.8
3.7
+0.1
Brunei
3.4
3.5
-0.1


This mechanism can be refined further, whereby the credit or debit outstanding at the end of each quarter is forwarded to the subsequent quarters and the final settlement is made only at the end of the year. The advantage of this is that a net import position for a country during a particular quarter may be offset by a net export position in the subsequent quarter, so that, for the year as a whole, the payment flows are further minimized.
The above example answers the often-asked question: are the existing gold reserves enough to support the growing volume of international trade? Is that in most cases gold would only play the role of a unit of account. Only the net balances remaining in the matrix of trade need to be settled in gold. David Richardo, the famous 19th century economist, wrote that in his Principles of political Economy and Taxation (London, 1817), when money is working at the peak of efficiency, the central bank need not hold any gold. We may not expect such peak efficiency, but some gold should be there to settle balances. Nevertheless, central banks need not hoard large amounts of gold like in Fort Knox. The efficiency could be further improved if trade experts sit together and analyze the export potentials and import needs of every participating country and thereby come up with a more efficient trade matrix. The international financial institution may not favors such multilateral payment arrangements because they significantly reduce the participating countries depended on international fiat reserve currencies.

5. ISSUE RELATING TO THE UTILIZATION OF GOLD IN INTERNATIONAL TRADE SETTLEMENTS
5.1. INTERNATIONAL TRADE FRAMEWORK USING THE GOLD DINAR MECHANISM
It has been reported that the gold dinar will be used, initially, for settlement of trade on the basis of bilateral payment (BPA). As mentioned earlier under a BPA, instead of bringing back report receipts to Indonesia, Bank Indonesia has an agreement with the corresponding central bank of trading countries to offset bilateral trade and settle the balance with each other. Trades are paid, or will pay to their respective central banks, in local currency. A BPA is usually undertaken when the importing country is a new market, or has no correspondence with the commercial banks in Indonesia, or is perceived to have high sovereign risk.
For this reason, it is important that a number of countries join hands to make a joint effort towards establishing the gold dinar mechanism. These countries will trade with one another thus creating a sufficient critical mass and market for them to encourage other countries. Eventually the BPA will be converted into a multilateral payments arrangement (MPA), with the participation of as many countries as possible.
The MPA functions in a similar fashion as the BPA, but it involves many countries and therefore would preferably involve in addition, a central depository, functioning very much like a clearing house to the central banks. No doubt the BPA and MPA; constituting a legally binding obligation; is sufficient to facilitate the aforesaid aim, but the need to create a system that will accept trading in gold dinar is essential to encourage the participation of more countries.

5.2. THE INFRASTRUCTURE FOR THE IMPLEMENTATION OF THE GOLD DINAR SYSTEM
The establishment of a body or organization which is to be entrusted with the regulation and holding of the gold dinar is essential. Whether the trading in gold dinar will take on a physical or electronic form, it is imperative that there be a mechanism that accepts and regulate trading in gold dinar. As can be seen earlier, the international trade between bilateral or even multilateral parties would be facilitated by the BPA or the MPA, which would dictated that the payment which had to be honored by the countries would be limited to the difference between the value of imports versus exports between the countries. A suitable centralized body may need to be established to manage the accounting arrangement, especially in multilateral trade.
Furthermore, where payment is to be rendered with gold dinar, physical delivery or the dinar may not be feasible. Therefore, the issue that must be addressed before the implementation of gold dinar becomes a reality is its lack of mobility. This however can be easily overcome with the establishment of holding body, entrusted with the holding or custodial task of the physical dinar. The gold dinar mechanism would primarily involve the task of settling the accounting arrangements between the countries and the custodial task of the physical dinar. Careful planning is needed to ensure that when the mechanism is in place, there would not be any major problems that could undermine its implementation.
Ideally, there are three major entities that will carry out significant roles in the gold dinar transactional matrix:
1. Central Bank
The central Banks of each country will have to play a substantial role in ensuring the viability of international trade in gold dinar. Essentially, the Central Bank will have two major roles in the “Gold Dinar Mechanism”.
Firstly, as a regulating body to manage and supervise gold dinar trading in each country. In international trade, the transport of gold dinar would be very minimal. Through BPA and MPA, the imports can be balance by the exports and the difference settled in gold dinar. The Central Bank can be provide a guarantee for the gold require for the payments of the balance can be made through accounting arrangements between the central banks.
The proposal is that the exporter can declare the agreed priced in dinar to the importer and to central Bank in his country. The central bank will then pay the exporter in its respective national currency based on the gold dinar exchange rate prevailing at the time of the transaction. At the importer’s end, he would pay to his country’s central bank in its national currency equivalent of the agreed price in gold dinar. At the end of a certain agreed term, the central banks will total up the value of the exports and imports between the two trading countries in dinar. If there is no balance, then the country with a surplus will have a credit account against the country with a deficit. The difference can be paid in dinar or the country with a surplus can hold the dinar for future purchases from the country in deficit.
Based on the aforesaid, it is vital that the central banks of parties interested to trade in gold dinar are able to come to an agreement as to the manner or scheme as to the accounting arrangement. This is especially important to minimize the physical transport or even the transfer of the beneficial ownership of gold dinar. Perhaps central bank could come up with standard policies in relation to trading in gold dinar to ensure uniformity in international trade. Relevant global organization such as the Islamic Development Bank (IDB) or the Islamic Financial Service Board (IFSB) can facilitate in fostering the unity for the Central Bank of Islamic Countries to take on a unanimous stand on providing a standard mechanisms for the use of gold dinar in International Trade among OIC member countries.
The second role to be carried out by Central Banks would be as a custodian of the dinar on behalf of its owners. Central Bank would be the best establishment to undertake this dinar custodial role as prospective dinar users will be comforted in knowing that their physical dinar is being deposited for safe custody with their country’s own regulator of financial practices.
Furthermore, central bank not only has the capacity to act as a custodian for the physical dinar to persons who may seek to acquire or dispose gold dinars. This can be done in the respective country’s national currency or any foreign currency to be determined by the particular central bank.

2. Central Depository
In a multilateral trade environment, the mechanism for trading in gold dinar would essentially be much like in a bilateral trade scenario. However, as more countries would be involved, the process gets a little complicated. To ensure manageability in multilateral trades, it is proposed that a central depository for a group of trading countries, most preferably in a Muslim country be set up. The central depository would be very much like a clearinghouse to balance the deficit and surpluses for the trading countries at the end of a stipulated time. Participating central banks will have a good custodian account, similar to a foreign exchange account, to finance bilateral payments. The proposal is that trading countries can deposit gold dinar in the central depository by way of the custodian account. Subsequently, all deficits and surpluses of trading countries will be balanced and the transfer of the beneficial ownership in the gold dinars be effected accordingly.
In essence, the role of the central depository would be very much similar to those central banks in each country, i.e the provision of transfer and custodial services. The only difference would be that it would be providing these services to participating central banks on a large scale.

3. Other Financial Institution
Although most of the dinar transaction would take on an electronic form as opposed to physical form, the value of the dinar traded electronically must also correspond with existing dinars. Aside from the central depository mentioned above, facilities for depositing the physical dinars are important, primarily due to its lack of mobility.
Another possible alternative is for the existing financial institution to operate and engage in dinar deposit for its customers. However, these roles will have to be premised on completely different objectives and aspirations in contrast to conventional cash deposits or ordinary gold deposits. This is because the dinar is both a valuable commodity and a currency for its owner, and in that respect, the bank’s role will primarily be that of a custodian of the dinar for the customers. The dinars must be kept free from lien and any encumbrances, as this will defeat its capability as a medium of exchange.
Possibly, financial institution may charge a service or custodial fee but in accordance with Islamic banking principles, the bank may impose no other charge, nor the customers on the dinar deposits earn ca interest. Based on this, it is probable that financial institution may not be too enthusiastic in offering this service. Furthermore, significant expenses will be incurred in ensuring suitable physical infrastructure to maintain the dinars, especially in term of storage capacity.

6. CONCLUSION
Whilst the use of gold dinar in international trade is noble and certainly the right moves in line with the teachings of Islam, the current monetary and financial regime in force around the world may not be accommodative to this idea. As such the implementation of gold dinar in international trade not only require a very strong political will on the part of the Muslim state but also undivided support from ummah. Some skeptics argue that the dual pricing system would impose an extra cost on Islamic traders, making them less competitive. There is no reason to expect Islamic business to accept payment for good and services in dinars when the prices of other goods and services software fro the US, say, or machine tools from Japan are still set in dollars. Unless use of the dinar is to be enforced, it is difficult to see why the international business sector should adopt the currency. If enough countries signed up, then insisting of the use of dinar could work for a time. But economics initiatives imposed from above governments have a poor record of success. Take soviet-style socialism, or even the euro, whose economics foundations are being called into question with Germany’s breach of the stability –and-growth pact limiting nations’ budget deficits and debt. Of course, there is always oil. If the Islamic oil-exporting countries from Libya to Indonesia were to get together and agree to price their exports only in dinars, the rest of the world would have little choice but to pay for its energy imports in gold.
Therefore, for the implementation of the gold dinar system, central banks need not stock up gold reserves as suggested by some international agencies. It would be better to start small with whatever gold reserves are already in the possession, of a small group of participating countries. Countries with little gold reserve could trade with gold producing countries like South Africa, Mali, Russia, etc. in order to increase their gold reserve. In this way, problems can be tackled while they are still small without placing undue demand pressure on the existing gold market. If all developing countries rush into implementing the gold dinar, this may only increase the international gold price substantially. However, observing the present global financial scenario, in our opinion, it is better for countries and individuals to have a good portion of gold reserve and savings.
Nevertheless we can learn a lot from the gradually but firm development of Islamic banking globally which has proven viable and successful. We should not expect instant triumph by trying to change our monetary system overnight. Rather a tactful and prudent approach should be taken in order to ensure that the use of gold dinar only brings positive impact on our economy. Education on its use at all levels, from the governmental agencies, public and private business as well as banks, are vital for extensive acceptance by the target users.
The bilateral and Multilateral payment arrangements may not affect the national currencies much since the gold dinar only replaces the international reserve currencies like the US dollar for settling international trade. Let us prepare ourselves to the advent of gold dinar as a multi-faceted business tool for international trade and our commitment to the successful attainment of this noble objective should be a serious one and not something mentioned “en passant” for purposes of verisimilitude only.
BIBLIOGRAPHY
Jackson, John H., Dispute Settlemet and the WTO: Emerging Problem, From GATT to the WTO: The Multilateral Trading System in The New Millenium, edited by The WTO Secretariat, Kluwer Law Tradiding, 2000.
Markusen, J., International Trade Theory and Evicence, London: McGraw Hill. 1995
Meera, Ahmed Kameel Mydin, The Islamic Gold Dinar, Kuala Lumpur: Pelanduk Publications, 2002.
Meera, Ahmed Kameel Mydin, The Teft of Nation, Kuala Lumpur: Pelanduk Publications, 2004.
Nik Hasan Thani, Nik Nozrul Thani, Using Gold in International Trade Settlement: The Legal And Regulatory Issues, Kuala Lumpur, 2003
Rashid, Hafiz Majdi Ab., D, Siswantoro, J.A. Brozovsky, The Stability of Gold Dinar and Accounting Implications: An Empirical Study. Kuala Lumpur: IIUM, 2003.
Rais, Umar Ibrahim Vadillo, The Return of The Islamic Gold Dinar, South Africa: Madinah Press, 2002.
Salvatore, D., International Economics. London: Prentice Hall, 2000.
2002 International Confrence on Stable and just monetary System: Viability of The Islamic Dinar, IIUM Research Center, 2002.