Senin, 20 Oktober 2008

EKONOMI RIIL Vs EKONOMI SEMU


Yulizar D. Sanrego
Kepala Lembaga Penelitian & Pemberdayaan Masyarakat (LPPM)
STEI Tazkia
(Artikel dimuat di Majalah Gontor edisi Novenber 2008)


Berita tentang krisis ekonomi global menghiasi hampir seluruh media massa baik elektronik maupun cetak, mulai media lokal maupun internasional. Tidak disangka-sangka Amerika yang konon negara adidaya dan pusat gerakan bisnis dunia itu, luluh lantak dengan menyisakan resesi ekonomi. Hingga sekarang, krisis ekonomi tersebut belum juga menunjukkan sinyal akan mereda. Harga properti di Amerika terus melorot tajam dan indeks bursa terus runtuh. Makin banyak rakyat negara super power itu yang hidup susah. Berbeda dengan krisis ekonomi 1997 yang melanda Asia, badai ekonomi 2008 dipicu oleh krisis subprime mortgage atau kredit perumahan “kelas dua” di Amerika. Kenaikan suku bunga menyebabkan banyak kredit gagal bayar. Harga properti jatuh, termasuk surat utang yang dijamin aset properti tersebut. Krisis subprime mencekik perusahaan-perusahaan yang uangnya nyangkut dalam surat utang properti tersebut.

Masalahnya, badai ekonomi dari jantung kapitalisme dengan size ekonomi terbesar di dunia tersebut menggulung negara-negara lain. Sejumlah bursa saham di dunia ikut anjlok mulai dari Eropa, Asia sampai Timur Tengah. Sejumlah negara bahkan sempat menghentikan perdagangan di bursa sahamnya, antara lain Rusia, Austria, Islandia, Rumania, Ukraina, Brazil termasuk Indonesia. Menteri Keuangan Korea Selatan sampai mengatakan,"Banyak orang Korea bertanya, bagaimana bisa negara Amerika Serikat bisa menjadi begitu lemah." Di Inggris, krisis keuangan global telah menyebabkan angka pengangguran meroket tajam. Jumlah pengangguran saat ini menyentuh rekor tertinggi sejak resesi yang melanda negara itu 17 tahun silam.

Sesungguhnya, krisis yang terjadi lebih disebabkan oleh sistem moneter kapitalis itu sendiri. Ekonomi Amerika termasuk dunia digerakkan oleh sektor keuangan (financially driven capitalism) yang bersifat semu. Kalaulah kita telaah lebih kritis, pemicunya tidak hanya bunga kredit tetapi juga melibatkan penyalahgunaan uang dan instrumen keuangan lainnya yang tidak lagi sekedar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan, beranak pinak dan berlipat ganda dalam waktu singkat tanpa menyisakan nilai riil. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.

Kondisi inilah yang dikenal luas dengan istilah “bubble economy” dalam ekonomi kapitalis. Pertumbuhan ekonomi yang dipicu sektor keuangan terlihat seperti balon yang terus membesar dan enak dipandang, tetapi pada suatu ketika akan pecah dengan menyisakan berbagai macam masalah ekonomi. Sistem ini telah menumbuhsuburkan ekonomi non-riil yang nilai transaksinya jauh lebih besar dari ekonomi riil. Bisa ditebak, kondisi terakhir akan memicu terjadinya inflasi dan akan “selalu” mendorong pemerintah untuk menaikkan rate SBI. Jika kondisi ini terus terjadi, maka decoupling antara sektor riil dan sektor keuangan akan selalu terjadi di muka bumi ini. Pada gilirannya, akan terjadi pula kesenjangan dan penumpukan modal abadi pada segelintir orang. Majalah The Economist dalam analisisnya terhadap krisis menggarisbawahi pandangan tersebut: ”penumpukan kekayaan dan bencana adalah bagian dari sistem keuangan Barat”.


Ekonomi Riil = Ekonomi Islam

Dalam perspektif Islam, tidak diragukan lagi bahwa anasir dari financially driven capitalism termasuk moral pelaku ekonomi itulah yang menjadi penyebab terjadinya krisis keuangan global sekarang. Hal ini ditegaskan juga oleh Khan (2008), bahwa faktor utama penyebab krisis keuangan sekarang adalah adanya praktek ribawi dan maysir (judi) yang melibatkan praktek spekulasi dalam pasar keuangan termasuk bermain valas. Dengan wujudnya anasir tersebut, maka bisa dipertegas bahwa karakteristik ekonomi kapitalis adalah ekonomi yang berbasis non-riil (semu).

Sistem bunga hanya akan melanggengkan status quo kaum kapitalis dalam penguasaan modal mereka. Dengan karakteristik “pasti untung” (pre-determined return) yang melekat pada bunga, maka kondisi ini akan membuka peluang bagi para pemilik modal untuk bertransaksi hanya di sektor keuangan dibandingkan di sektor riil yang sarat akan risiko. Tegasnya, adanya kepastian keuntungan akan menarik potensi pasar untuk mengalokasikan uang di pasar-pasar moneter. Riba, fiat money, dan fractional reserve system dalam perbankan dengan diperbolehkannya praktek spekulasi akan menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral) dan tersedotnya uang yang terkonsentrasi di sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa bersinggungan dengan risiko.

Akibat yang kemudian muncul adalah uang atau investasi yang seharusnya mengalir ke saluran sektor riil untuk tujuan produktif, sebagian besarnya mengalir ke sektor moneter, sehingga menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil. Penciptaan uang tanpa adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi dan akhirnya tujuan pertumbuhan ekonomi tidak dapat tercapai.

Dengan diharamkannya anasir financially driven capitalism yang berdampak buruk kepada laju perekonomian tersebut, ekonomi Islam dengan sistem bagi hasil dan penekanan kewajiban zakat akan berdampak positif bagi laju perekonomian yang berbasis sektor rill. Melalui sistem bagi hasil yang disertai dengan instrumen zakat berikut pelarangan riba dan segala bentuk spekulasi, maka akan mendorong iklim investasi yang akan tersalur dengan lancar ke sektor riil untuk tujuan yang sepenuhnya produktif. Hal ini akan menjamin terdistribusinya kekayaan dan pendapatan serta akan menumbuhkan sektor riil. Dengan meningkatnya produktifitas dalam bentuk kesempatan kerja dan usaha diharapkan mampu memicu pertumbuhan ekonomi, sehingga pada akhirya cita-cita mewujudkan masyarakat yang sejahtera dapat tergapai.

Dengan wujudnya zakat, dana yang tidak diinvestasikan akan mengalir kepada sektor riil melalui permintaan para mustahiq untuk memenuhi kebutuhan primer mereka. Kalaupun dana tersebut diinvestasikan, maka dengan dilarangnya riba dan maysir, maka sektor yang memungkinkan untuk mendapatkan pembiayaan adalah sektor riil. Sebagai ikhtitam, sudah saatnya pendulum sejarah ekonomi mengarah kepada aplikasi sistem ekonomi Islam yang berbasis shared prosperity bukan berbasis zero-sum game sebagaimana praktek ekonomi kapitalis. Wallahu A’lam

1 komentar:

The King mengatakan...

luar biasa
eKONOMI RIIL = EKONOMI ISLAM

pasar saham permodalan sebagai ajang berbagi kepemilikan dan manfaat kepada public juga sebagai media penghubung antara investor dan orang yang membutuhkan likuiditas dana2 segar terlepas dari bunga dan praktek2 MAGHRIB, dan menekankan pada pola revenue sharing dan risk sharing maka akan tercipta sebuah kemakmuran yg seimbang bagi semua kalangan

akan tetapi yg saya bayangkan saat ini alangkah baiknya apabila pasarmodal dengan mekanisme yg ada itu size nya di kecilkan dengan sekala mikro sehingga akan tercipta usaha2 kecil yang berpotensi besar dengan pengetahuan dunia permodalan seukuran usaha tersebut.
sehingga merekapun para pengusaha tidak mudah ciut nyali berhadapan dengan pengusaha2 besar.

dari sisi lain harus di bukanya akses pasar bagi pengusaha2 kecil tradisional seperti produk kacang koro atau produk2 lain sejenisnya mampu bersaing dg produk kacang garuda, dan masih banyak lagi potensi pasar dari masyarakat kita untuk bisa di gerakkan tumbuh menjadi besar..

wallahu a'lam bissawaf
ini hanya harapan dan mimpi