Medio Desember, 2005. Gombak-Malaysia
Negaraku Indonesia ternyata sudah berhutang semenjak awal berdirinya ketika dipimpin oleh Sukarno. Sukarno meninggalkan beban hutang sebesar 2 miliar dolar Amerika Serikat kepada Suharto. Demikian pula Suharto yang mewariskan 150 miliar dolar AS sebagai hutang luar negeri kepada penerusnya, Abdurrahman Wahid. Hingga kini, Megawati menyimpan akumulasi hutang sebesar 700 triliun rupiah. Semuanya dijadikan alasan untuk pembangunan. Intinya pembanguan Indonesia dijalankan atas dasar hutang (ekonomi hutang).
Maksud hati ingin membangun Indonesia yang sejahtera apa daya malah malapetaka turunan berupa beban hutang kepada generasi yang hidup sesudahnya. Terlalu gegabah untuk membangun diatas hutang sementara sumber daya belum memiliki kapasitas yang “mumpuni” dalam mengelola bangsa yang bukan main luas dan ‘sophisticated’ ini.
‘No free lunch’, itulah ungkapan ekonomi yang pas ketika kita berhutang kepada orang lain. Ada beberapa syarat yang harus kita penuhi selaku orang yang berhutang untuk mendapatkan hutang. Begitu pula halnya dengan Indonesi ketika ingin berhutang. kebanyakan hutang Indonesia adalah hutang yang mengandung nilai bunga (riba) yang dipinjam dari World Bank, IMF, dan negara-negara donatur lainnya.
Disinilah sebenarnya “kehinaan” sebuah negara bermula. Kenapa tidak? Apabila kita sudah terjebak dalam lingkaran hutang, dengan sendirinya bukan hutang material saja yang timbul, tetapi kita juga telah terjebak dalam hutang budi dan jasa. Bila ini terjadi, maka dengan sendirinya kita harus memenuhi keinginan negara pemberi hutang tidak hanya terhadap syarat-syarat yang disebutkan dalam perjanjian hutang (debt-agreement), tetapi juga terhadap konsekwensi yang terjadi akibat berhutang tersebut.
Dampak negatif dari berhutang dalam sistim ekonomi ribawi adalah keharusan negara penghutang untuk membayar hutangnya plus bunga hutang dalam keadaan apapun, apakah pinjaman mereka menguntungkan atau tidak. Kewajiban membayar hutang ini pada masa jatuh tempo jelas akan menurunkan nilai Rupiah akibat keharusan kita untuk membayar hutang dalam bentuk nilai mata uang asing (dalam hal ini Dolar Amerika). Pembayaran ini akan menyebabkan semakin tingginya permintaan uang asing sehingga nilai uang asing semakin tinggi, sementara itu nilai Rupiah semakin merosot.
Ketidakmampuan untuk membayar hutang ketika jatuh tempo akan menyebabkan bunga hutang akan semakin membengkak dari waktu ke waktu, apalagi pemerintah harus membayar bunga atas bunga (interest on interest) yang belum terlunas. Lebih lanjut, dinamika sistim ribawi akan berdampak pada perbedaan pendapatan antar negara kaya dan negara miskin semakin terus melebar. Dalam skala global seperti yang dilaporkan oleh United Nations Human Development tahun 1996, sebanyak 358 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan lebih dari 2.5 juta orang termiskin di dunia.
Kemudian, penggunaan dana pinjaman asing yang tidak optimal dan dialokasikan pada sektor-sektor non-produktif seperti digunakan untuk membiayai aktivitas rutin pemerintah jelas akan mempersulit kemampuan negara untuk membayar hutang. Bahaya lain dari hutang adalah bila kebanyakan komposisi hutang itu adalah hutang jangka pendek, bukan hutang jangka panjang, maka masa jatuh temponya akan terjadi dalam waktu yang relatif singkat sehingga pengaliran sumber dana pembangunan ke luar negeri juga akan terjadi dalam waktu yang cepat sehingga akan menghambat pembangunan ekonomi yang lebih stabil.
Kemudian, sistim manajemen dana pinjaman luar negeri yang penuh dengan kebocoran (leakages) akibat praktek kolusi, korupsi, dan nepostime (KKN) yang tidak bertanggung jawab justeru membuat posisi ekonomi Indonesia semakin parah. Suatu yang sangat ironis sekali berlaku dikalangan elit pemerintah dan ekonomi Indonesia sekarang, ketika mampu mendapat pinjaman luar negeri babak baru dalam rangka pembiayaan defisit, mereka malah bangga bahwa Indonesia masih dipercayai oleh dunia internasional. Bukankah ini suatu tindakan bodoh? Sepatutnya kita merasa malu harus terus dirundung hutang, bukan malah merasa bangga.
Pembiayaan Defisit Negara Dalam Islam
Ketika terjadi depresi hebat melanda Amerika pada tahun 1930an, seorang John Maynard Keynes mempertanyakan kebijakan negara (supply side) sekaligus menyalahkannya. Baginya, demi tercapainya pertumbuhan ekonomi maka demand side yang diusung oleh pemerintah harus menjadi prioritas. Lemahnya permintaan dari masyarakat (private demand) memerlukan stimulus yang kuat dari sisi permintaan melalui government spending untuk menciptakan kesempatan lapangan kerja, meningkatkan level investasi, tingkat konsumsi maupun income masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak positif pada peningkatan tenaga kerja, daya beli atau konsumsi masyarakat dan pada akhirnya mendorong kepada daya permintaan masyarakat yang tinggi sehingga timbullah kemudian pertumbuhan ekonomi. Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang masih terpuruk, tidak ada salahnya kita mencoba untuk mengaplikasikan kebijakan deman side ala Keynes ini. Permasalahannya kemudian adalah darimana Indonesia mendapatkan dana untuk mensupport kebijakan demand side tersebut? dengan asumsi negara mengalami deficit pembiayaan.
Dalam Islam, Rasul mengajarkan kepada pengikutnya untuk menghindarkan diri dari beban hutang Dalam sebuah do’anya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i:
"Ya Tuhan, aku berlindung kepadaMu... daripada beban hutang (ghalabat al dayn) dan daripada dikuasai orang (qahr al-rijal).
Tentu ada sebabnya mengapa kalimat "beban hutang" itu berurutan dengan ungkapan "penguasaan orang". Itulah sebenarnya yang sedang kita alami ketika ini. Akibat beban hutang yang tak tertanggung, kita terjerumus dalam dominasi kuasa-kuasa ekonomi kapitalis dunia.
Kalaupun menghutang adalah merupakan salah satu jalan maka hal tersebut betul-betul harus bebas dari bunga. Dalam konteks inilah kemudian Islam menawarkan beberapa instrumen yang bisa digunakan sebagai wasilah negara untuk mendapatkan dana bebas bunga dalam rangka pembiayaan deficit maupun investasi. Dalam konteks ini, Malaysia selangkah lebih maju dalam upaya mempraktekkan Islamic instrument seperti Qardhu Hasan Bond, Muqaradah/Mudarabah Bond, Global sukuk Bond atau Sukuk Ijarah Bond untuk menopang keperluan finansial negara termasuk pengeluaran negara (Government spending).
Secara umum, ada dua cara Bank Islam maupun Lembaga Keuangan Islam lainnya mampu memobilisasi dana pihak ketiga untuk pembiayaan proyek sektor publik (infrastuktur). Pertama, dengan cara bagi hasil (Muqaradah/Mudarabah) yang bisa diaplikasikan untuk beberapa proyek yang mampu menghasilkan keuntungan terukur seperti dalam bentuk pembayaran penggunaan tol, dan proyek pengadaan pelayanan pemerintah lainnya. Dana yang termobilisasi dengan framework seperti ini bisa diberikan return berupa prosentase bagi hasil dari keuntungan yang didapat.
Kedua, dana bisa dimobilisasi dengan menjual pada harga lebih tinggi dari biaya pelayanan atau manfaat dari infrastruktur tertentu yang dibeli dengan cara kredit dari investor swasta. Dalam konteks ini, investor swasta yang membangun infrastruktur untuk negara mengharapkan keuntungan dari investment yang dia lakukan. Dalam hal ini, lapangan terbang bisa dibangun oleh perusahaan swasta, lokal maupun internasional, dan dijual ataupun disewakan kepada pemerintah yang membayar secara angsuran dengan uang yang dihasilkan dari pajak lapangan terbang, pembayaran parkir pesawat maupun pembayaran service airport lainnya.
Hal ini yang dilakukan oleh pemerintah Pakistan. Bank dan institusi keuangan di Pakistan memperkenalkan “Participation Term Certificates” (PTCs); transferable corporate instrument yang berdasarkan prinsip bagi hasil dan kerugian (PLS) dan bertujuan menggeser peran debentures untuk pinjaman (interest based debenture) jangka menengah maupun jangka panjang untuk industri maupun pembiayaan sektor lainnya. Dalam kaitan ini, John Harrington dari Universitas Seton Hall, New Jersey, Amerika Serikat memberikan sugesti bahwa PTCs bisa digunakan sebagai sarana pembiayaan bangunan publik yang disewakan kepada pemerintah. Pemegang PTCs akan mendapatkan keuntungan dari uang sewa yang dibayar oleh negara dan juga keuntungan jika bangunan tersebut dijual dalam harga tinggi. PTCs model ini akan mengurangi keperluan hutang negara, menyediakan keuntungan yang menarik bagi investor dan memungkinkan untuk diperjualbelikan di pasar modal.
Penerbitan instrument investasi tersebut dapat dipandang sebagai terobosan baru dalam sistim keuangan syariah dan merupakan jawaban atas diharamkannya riba dan dihalalkannya jual beli dalam Islam. Sukuk bukan instrumen utang piutang dengan bunga (riba), seperti obligasi yang kita kenal dalam keuangan konvensional, tetapi sebagai instrument investasi. Sukuk diterbitkan dengan suatu underlying asset dengan prinsip syariah yang jelas.
Bila upaya pencarian dana tersebut dilakukan secara Islami, maka efek negatif dari hutang tidak akan pernah terjadi dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Posisi bangsa kita tidak lagi menjadi bangsa “budak” akan tetapi menjadi rekan (partner) bagi para investor dalam menjalankan praktek bisnis. Kita akan betul-betul merasa merdeka dalam arti yang sesungguhnya ketika kita tidak lagi didikte dengan berbagai macam persyaratan yang justeru membuat kita terus terpuruk dalam kemiskinan yang mengancam kedaulatan bangsa.
Yang pasti, penerbitan sukuk sebagai instrument investasi yang dilakukan beberapa negara merupakan natijah dari political will masing-masing negara tersebut. Bagaimana dengan Indonesia? Sudah saatnya pemerintah Indonesia melakukan kebijakan untuk secara total putus hubungan dengan lembaga donatur Internasional yang menerapkan sistim bunga dan beralih kepada kebijakan pemerintah untuk mengkaji dan menerapkan instrumen investasi syariah yang bercirikan asas partnership. Sudah saatnya kita harus “merdeka” dari beban hutang ribawi yang membuat kita malah terus terpuruk dalam kemelaratan yang berkepanjangan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar