Senin, 11 Agustus 2008

Menyambut Konferensi Keuangan Mikro 2008

Berbicara lembaga keuangan mikro (LKM) maka pembicaraan berikutnya adalah akan tertuju langsung pada isu tentang bagaimana peran keuangan mikro dalam pengentasan kemiskinan. Berbicara kemiskinan di Indonesia, maka tidak akan lepas dari membicarakan tentang ranah pertanian. Pertanyaannya adalah mengapa kemiskinan? Riset yang dilakukan oleh Bank Indonesia – Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), menunjukkan bahwa hamper di semua sektor pertanian, perkebunan dan perikanan merupakan penyumbang terbesar bagi tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia (Suselo dan Tarsidin, 2007).

Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi pada sektor tersebut di tingkat nasional mencapai – 2,97. Ini berarti bahwa setiap pertumbuhan sebesar 1% di sektor tersebut, maka akan berpotensi mengurangi kemiskinan nasional sebesar 2,97%. Hubungan antara lembaga keuangan mikro dan peran pertanian inilah yang seharusnya menjadi bagian penting pembahasan pada agenda konferensi kali ini. Dalam kesempatan ini penulis mencoba untuk memberikan sumbangsih agar peran lembaga keuangan mikro betul-betul dirasakan oleh masyarakat khususnya dalam pengentasan kemiskinan.
Masalah Lembaga Keuangan Mikro dan Pembiayaan Pertanian

Terlepas dari pembahasan salah sasaran pembiayaan jika dilihat dari plafonnya (lihat Republika edisi 12 Mei 2008), ada aspek lain yang perlu dikritisi berkaitan dengan objek pembiayaan dari sisi sektornya. Sudah sangat maklum bahwa kebanyakan lembaga keuangan mikro “bermain” di sektor perdagangan dalam memberikan pembiayaan pada nasabahnya.

Ternyata ada beberapa faktor kendala yang menyebabkan LKM enggan menyalurkan pembiayaannya untuk sektor pertanian. Survey Bank Indonesia yang dilakukan oleh tim PPSK tahun 2007 menunjukkan bahwa ada tiga faktor penyebab LKM enggan menyalurkan pembiayaannya untuk sektor tersebut.

Pertama, Mismatch dana. LKM tidak memiliki sumber dana jangka panjang (tiga bulan) yang sesuai dengan kebutuhan pembiayaan nasabah pertanian. Bagi LKM, tiga bulan merupakan masa yang relatif panjang dan lama untuk mendapatkan kembali dana yang digulirkan. Tentunya, dana tersebut akan kembali kepada LKM pada saat panen tiba (yarnen). Pada masa tiga bulan inilah LKM merasa tidak memiliki kesempatan untuk menggulirkan kembali dananya yang memang terbatas.

Kedua, Risiko usaha. Masalah ini sangat berkaitan erat dengan sifat usaha pertanian itu sendiri yang memang memiliki risiko yang tinggi. Untuk masalah ini LKM merasa bahwa jika melakukan pembiayaan untuk sektor ini, disamping waktunya lama, juga berisiko untuk tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Risiko dalam hal ini lebih disebabkan oleh pertimbangan alam.

Ketiga, Pemahaman LKM tentang feasibility study tentang usaha pertanian dan kemampuan teknis lainnya seperti manajemen, produksi dan marketing. Untuk poin ini sumber daya manusia LKM belum memiliki kemampuan khusus dalam membaca feasibility pada usaha pertanian yang layak diberikan pembiayaan. Bantuan dana (financial assistance) memang penting tetapi belum cukup. Kemampuan dalam mengaplikasikan FS dan teknis lainnya untuk usaha-usaha pertanian masih sangat langka di lingkungan LKM. Permasalahan-permasalahan inilah yang seharusnya menjadi konsen dalam pembahasan agenda konferensi kali ini. Hal ini karena terkait dengan potensi usaha mikro di sektor pertanian yang sangat besar sebagaimana telah dibahas diatas.

Rekomendasi Konferensi

Sesungguhnya penulis belum melihat ada pembahasan yang berkaitan langsung antara peran LKM dengan pertanian yang menjadi sektor potensial. Kalaupun ada, mungkin terkesan memaksakan untuk dibahas di sesi pengembangan produk dan program LKM. Untuk itulah pada kesempatan ini penulis merekomendasikan agar ada pembahasan tersendiri mengenai pengembangan produk atau program pembiayaan yang berkaitan dengan usaha mikro di sektor pertanian.

Terkait denganpermasalahan internal LKM diatas, ada beberapa hal yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk direalisasikan. Pertama, permasalahan mismatch dana yang terjadi bisa dicari jalan keluarnya dengan channeling strategy yang bisa dilakukan dengan bank umum atau dana bergulir dari pemerintah. Strategi inilah yang bisa dilakukan oleh LKM ketika mengalami kekurangan dana khususnya dana nasabah LKM itu sendiri.

Kedua, permasalahan risiko pembiayaan di sektor pertanian bisa dilakukan dengan melakukan inisiasi mikro takaful (micro insurance) yang bisa memitigasi risiko pembiyaan terhadap sektor pertanian. Tentunya dengan keberadaan mikro takaful ini diharapkan akan mendukung LKM dalam menjalankan aktivitas dan kegiatannya. Selain itu juga bisa memaksimalkan peran lembaga underwriting sebagai lembaga pengawas untuk menjaga risiko dana yang disalurkan kepada usaha mikro Kecil (UMK).


Ketiga, permasalahan kemampuan SDM LKM maupun UMK dalam mengaplikasikan feasibility study dan bentuk teknis lainnya dalam hal pertanian bisa diupgrade dengan bimbingan atau bantuan teknis dengan menggunakan fasilitas pemerintah. Kemampuan teknis tersebut tentunya akan memberikan bekal bagi para pelaku keuangan mikro khususnya di sektor pertanian agar lebih profesional dan cerdas dalam menjalankan usahanya.

Akhirnya penulis ingin menegaskan bahwa upaya pengentasan kemiskinan hanya bisa dilakukan jika seluruh elemen bangsa secara bersama-sama berperan aktif. Adanya koordinasi lintas kepentingan menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Isu kemiskinan adalah isu makro yang mutlak menjadi isu bersama dan bukan isu kelompok tertentu. Bagi peserta konferensi keuangan mikro penulis mengucapkan selamat berkonferensi, semoga selama dua hari kegiatan di Bali bisa memberikan kontribusi positif bagi perkembangan dunia keuangan mikro di Indonesia yang pro masyarakat miskin. (Untuk paper lengkap bisa hub penulis)

Tidak ada komentar: