Selasa, 12 Agustus 2008

SUAP DAN KORUPSI DARI PERSPEKTIF EKONOMI

Ditulis oleh Dr Andi Irawan

Suap, korupsi dan berbagai variannya adalah suatu perilaku yang secara normatif dibenci tetapi umum dilakukan dalam realitanya. Karena itulah mengapa kemudian para ekonom yang memegang paradigma potivisme tidak suka menjudge secara moral tentang perilaku ini. Bagi mereka suap dan korupsi hanyalah merupakan keniscayaan perilaku ekonomi manusia. Sebagai makhluk ekonomi, manusia punya motif personal untuk memaksimalkan keuntungan dari kepemilikan sumberdaya, dana bahkan kekuasaan ekonomi dan politik yang mereka miliki. Ekonom positivisme lebih suka menyebutnya dengan bahasa yang sangat netral bahkan terkesan sangat santun, korupsi dan beragam variannya disebut sebagai transaction cost, policy cost atau administrative cost.
Transaction cost adalah suatu keniscayaan biaya yang harus dikeluarkan dalam interaksi (baik legal maupun ilegal) antara pengusaha dengan pengusaha dan antara pengusaha dengan penguasa. Kita mungkin sudah pernah mendengar tentang istilah fee atau komisi yang merujuk pada sejumlah dana yang harus dikeluarkan dalam proses menuju kesepakatan untuk mendapatkan pasar, omzet, dan proyek.
Policy cost adalah dana yang harus dikeluarkan seseorang atau pihak tertentu agar lahir kebijakan publik, undang-undang atau keputusan hukum atau peraturan yang menguntungkan dirinya. Beberapa kasus anyar tentang perilaku policy cost ini antara lain; 1) Kasus dana yang dikeluarkan Bank Indonesia kepada komisi IX DPR RI periode 1999-2004 untuk memperlancar lahirnya undang-undang Bank Sentral, 2) Kasus gratifikasi terhadap anggota Komisi IV DPR RI dalam kasus alih fungsi hutan lindung di Tanjung Siapi-api Sumsel dan Bintan. Dan 3) yang paling anyar adalah kasus suap Artalyta terhadap oknum jaksa dari kejaksaan agung.
Dan administrative cost, adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk urusan administrasi yang di luar batas ketentuan untuk mempercepat atau mempermudah proses administrasi. Contoh fenomena ini adalah pada kasus dana yang harus dikeluarkan para eksportir dan importir kepada sejumlah oknum aparat Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai Tanjung Priok untuk mempermudah mekanisme perizinan ekspor dan impor. Selanjutnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Schmid (1987) ketiga jenis biaya illegal tersebut sering disebut dengan terminologi transaction cost saja.
Transaction cost memang menguntungkan dalam sudut pandang pelakunya (persepektif myopik). Tetapi tentu saja merugikan dalam persepektif yang holistik, khususnya ketika kita melihat dampaknya terhadap pembangunan bangsa secara berkelanjutan. Korupsi telah menumpulkan kemampuan negara mensejahterakan rakyatnya. Sulitnya pengentasan kemiskinan terjadi ketika dana-dana publik yang ditujukan untuk rakyat miskin terdistorsi alokasinya akibat korupsi. Kolusi antara para elite politik korup dan elite ekonomi serakah menyebabkan kekayaan sumberdaya alam yang terkandung dalam bumi ibu pertiwi tidak menjadi berkah tetapi musibah dan kutukan berkelanjutan. Akibatnya, perusakan lingkungan yang hebat (environmental hazard) tak terelakkan. Dan, ketika environmental hazard ini terjadi, menurut Ramcharan (1983), bukan hanya memustahilkan pemenuhan hak-hak dalam kategori sosial ekonomi pada pihak lain, khususnya atas orang-orang miskin seperti hak atas pangan (right to food), hak atas kesehatan (right to health), hak atas perumahan (right to housing), dan hak atas pekerjaan (right to work). Dan ketika korupsi menginfeksi lembaga hukum maka tak pelak lagi berakibat hukum bukan melahirkan keadilan tetapi kezaliman.
Tidak ada negara yang menjadi maju dengan marak dan tingginya perilaku suap dan korupsi. Mereduksi perilaku ini adalah kerja besar perlu political will dan inovasi-inovasi baru dalam menimbulkan efek jera. Dalam konteks itu, kita layak memberi apresiasi terhadap teknik yang dilakukan oleh KPK terhadap penangkapan para pelaku suap dan korupsi yang menyebabkan para pelakunya sulit berkelit.
Tetapi walaupun begitu ada satu catatan penting yang layak kita sampaikan dalam pemberantasan perilaku suap dan korupsi, yakni hukuman yang diberikan kepada para pelaku korupsi belum menimbulkan efek jera yang berarti. Hal itu tidak lain karena hukuman terhadap pelakunya masih terlalu ringan. Dalam persepektif ekonomi, hukuman yang berat diperlukan untuk memberikan forward expectation (ekspetasi ke depan). Ekspetasi ini selanjutnya akan mempermudah lahirnya pengambilan keputusan oleh setiap orang bahwa “biaya (sosial-ekonomi-politik dan hukum)” yang mereka harus keluarkan dari perilaku tersebut jauh lebih besar dari “manfaat sosial ekonomi” yang diterimanya sehingga ke depan perilaku suap dan korupsi tersebut bukanlah bagian dari perilaku yang fesibel untuk dilakukan oleh siapapun. Dalam konteks itu pula maka ide yang menyatakan bahwa korupsi sebagai extraordinary crime terhadap bangsa yang meniscayakan pelakunya dihukum mati layak untuk dipertimbangkan implementasinya.

Tidak ada komentar: