Minggu, 24 Agustus 2008

ISLAM, LKMS dan UMKM

Yulizar Djamaluddin Sanrego Nz
Kepala LPPM Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia
(Artikel dimuat di majalah Ekonomi dan Bisnis Syariah, SHARING)

Akses finansial bagi rakyat miskin ditengarai merupakan alat yang ampuh dalam rangka pengentasan kemiskinan. Peran keuangan mikro sebagai ujung tombak dalam pengentasan kemiskinan telah mendapat pengakuan secara internasional. Pengakuan tersebut tercermin dari keputusan Sidang Majelis Umum PBB ke-53 (tahun 1998) yang menetapkan tahun 2005 sebagai Tahun Kredit Mikro Internasional (TKMI). Sidang tersebut ditindak lanjuti dengan Launching International Year of Micro credit 2005, di Markas Besar PBB, New York, oleh Sekjen PBB Kofi Annan pertengahan bulan November 2004.

Pembahasan mengenai besarnya peran yang bisa dilakukan oleh lembaga keuangan mikro (LKM) dalam memberikan pelayanan keuangan juga tidak luput dari penelitian Institute Research and Training Institute (IRTI) – Islamic Development Bank. Perhatian tersebut adalah dengan cara menggelar konferensi berseri tentang peluang dan tantangan keuangan Islam dalam memberikan pelayanan keuangan terhadap perkembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Konferensi pertama dilakukan IRTI bekerjasama dengan University of Brunei Darussalam tahun 2007 dan konferensi berikutnya akan digelar pada bulan Desember tahun ini di Bangladesh dengan mengusung tema yang sama.

Ada beberapa isu strategis yang menjadi konsen penulis seputar keuangan mikro ketika menjadi salah satu pembicara dalam konferensi Brunei adalah isu mengenai model pemberdayaan ekonomi yang bisa dilakoni oleh lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), isu mitigasi risiko yang besar kemungkinan dihadapi oleh LKMS, isu evaluasi bagi LKMS yang memerankan dwi fungsi sebagai entitas bisnis dan entitas sosial, dan terakhir isu mengenai peran instrumen keuangan Islam seperti zakat, infaq, shadaqah dan wakaf sebagai sumber dana murah LKMS. Artikel ini akan difokuskan pada pembahasan mengenai isu pertama yang berkaitan dengan model pemberdayaan yang bisa diperankan melalui aliansi strategis LKMS dan UMKM dan bagaimana pendekatan Islam dalam memahami peran strategis tersebut.

LKM dan UMKM

Berbicara mengenai UMKM, maka kurang sah kiranya kalau tidak melibatkan pembahasan mengenai lembaga keuangan mikro (LKM) demikian pula sebaliknya. Keduanya bak dua sisi mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Hal yang paling krusial lagi adalah bagaimana aliansi cantik antara keduanya berdampak positif bagi pengentasan kemiskinan dan permasalahan pengangguran.

Peranan usaha mikro kecil menengah (UMKM) terutama sejak krisis moneter tahun 1998 dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia di tahun 2001 lalu mengenai “Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis: Fakta, Penyebab, dan Implikasi Kebijakan” yang diterbitkan oleh Direktorat Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Tahun 2001, diungkapkan adanya pengakuan dari industri perbankan kita bahwa kredit yang disalurkan kepada UMKM adalah lebih minimal risikonya, dan UMKM ternyata memiliki kondisi usaha yang lebih sehat. Dibandingkan dengan usaha yang berskala besar, UMKM terbukti lebih tahan dan resisten terhadap krisis ekonomi (Tambunan, 2004).

Beberapa data dan informasi menunjukkan kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional. Kontribusi UMKM terhadap PDRB Indonesia mencapai 56.7 persen. Bandingkan dengan kontribusi yang bersumber dari ekspor nonmigas yang hanya mencapai 15 persen. Lebih dari itu UMKM juga memberikan kontribusi sebesar 99.6 persen dalam penyerapan tenaga kerja. Demikianlah struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Melihat konfigurasi tersebut, tidaklah berlebihan jika pengembangan UMKM khususnya untuk usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development through equity. Pemberdayaan secara khusus terhadap usaha mikro yang mayoritas plafonnya dibawah lima juta merupakan langkah konkrit untuk memutus rantai kemiskinan yang membelenggu masyarakat selama ini.

Semangat dan kenyataan tersebut memberikan keyakinan terhadap kemampuan dan vitalitas UMKM dalam pengembangan perekonomian. Lebih jauh, perkembangan UMKM ini juga akan sangat berpotensi untuk memutus lingkaran kemiskinan masyarakat. Dalam konteks ini pula, UMKM selalu diasosiasikan dengan efek-efek positif terhadap beberapa isu seperti pendapatan Rumah Tangga, tabungan, pendidikan anak-anak, kesehatan dan nutrisi serta pemberdayaan perempuan. Lebih jauh Krisna Wijaya (2005) menyatakan bahwa kaitan antara pemberdayaan kredit mikro dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan pintu masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha pemula. Jika pengusaha pemula ini tumbuh dan berkembang akan terentaskan karena menjadi pengusaha atau karena trickle down effect dari semakin banyaknya pengusaha mikro.

Perkembangan sektor UMKM yang demikian menyiratkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik, jika hal ini dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat mewujudkan usaha mikro, kecil dan menengah yang tangguh. Namun, disisi yang lain UMKM juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang secara garis besar mencakup: pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan. Untuk yang terakhir sebagai lembaga keuangan formal hampir tidak masuk akal melakukan transaksi dengan pengusaha berskala mikro karena biaya transaksinya tinggi dan penuh risiko.

Dengan segala keterbatasan inilah maka akses dan pelayanan finansial yang mudah dan murah bagi UMKM menjadi solusi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, mutlak diperlukan. Bagi Indonesia yang memiliki lebih dari 40 juta unit UMKM, peran LKM menjadi sangat strategis dan urgen dalam rangka pengentasan kemiskinan. Peran yang ditegaskan dalam target Millenium Development Goals (MDGs): mengurangi separuh dari jumlah 1,2 milyar manusia yang kini hidup dalam kemiskinan yang parah di dunia.
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus menerus melayani kebutuhan mereka.

Perspektif Islam

Dalam konteks pembahasan LKM dan UMKM diatas, perlu juga kiranya membahas bagaimana pandangan Islam dalam memberikan pelayanan keuangan bagi masyarakat kelompok miskin yang mayoritas berada di sektor UMKM.

Sesungguhnya berbicara mengenai kemiskinan dalam perspektif Islam adalah merupakan suatu fenomena yang sangat dibenci kalau tidak dikatakan dharuri (urgent). Hadits Rasulullah saw menegaskan dan memperingatkan bahwa kemiskinan cenderung membawa seseorang kepada kekufuran.

Dua model pendekatan yang bisa digunakan dalam memberdayakan kelompok miskin, yaitu pendekatan tabarru’i (social approach) dan pendekatan tijari (commercial approach) yang didalamnya mengandung unsur pendidikan. Pendekatan pertama difokuskan kepada langkah sebuah institusi dalam memberikan pelayanan masyarakat miskin dalam menutupi kebutuhan dasarnya. Dalam pendekatan ini, unsur-unsur pendidikan bagi masyarakat sangat ditekankan termasuk pembangunan karakter agar masyarakat tidak selalu menjadi “tangan di bawah”. Ada upaya-upaya edukasi sehingga masyarakat pada gilirannya siap mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan finansial yang bersifat tijari.

Pendekatan tersebut akan relevan dan berjalan efektif jika data kemiskinan bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya. Meminjam klasifikasi Robinson (1993), peran LKM bisa dipetakan ke dalam tiga kelompok besar; pertama, masyarakat yang sangat miskin (the extremely poor) yakni mereka yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Kedua, masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor). Ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak.

Dalam pemetaan diatas yang harus dikritisi adalah dimana sesungguhnya peran serta LKM. Menurut Microcredit Summit (1997), definisi kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya, “programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their families.” Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun.

Jika merujuk kepada definisi tersebut, maka peran strategis LKM lebih relevan untuk dua kelompok terakhir. Dimana sasaran kelompok masyarakat miskin tersebut sudah memiliki kemampuan usaha dan paling tidak sudah bisa menutupi kebutuhan dasar mereka. Dalam perspektif muamalah Islam, maka pendekatan yang paling pas dengan kondisi masyarakat tersebut adalah melalui pendekatan tijari dengan asumsi bahwa kebutuhan dharuriyat (kebutuhan pokok) mereka telah terpenuhi dan paling tidak mengerti apa yang harus dilakukan dengan usahanya.

Terkait dengan akad tijari, Islam dengan sistem bagi hasil dan risiko (profit and loss sharing), pembiayaan yang akan diberikan betul-betul dialokasikan kepada kelayakan usaha maupun tingkat keuntungan yang diharapkan. Konsekwensi logisnya, hal ini akan berdampak pada upaya pengalokasian modal kepada pihak yang tepat sesuai dengan definisi microfinance diatas yaitu masyarakat yang berdiri diatas kemampuannya sendiri dengan kemampuan entrepreneurship yang jelas dan bukan sebaliknya.

Dengan demikian akan jelas bahwa dana yang dialokasikan akan digunakan untuk usaha-usaha sektor riil dan produktif yang akan berdampak luas bagi penyediaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Layak tidaknya suatu pembiayaan merujuk kepada fisibilitas sebuah usaha bukan harus bankable dengan sederet persyaratan yang memberatkan para usaha mikro. Tidaklah berlebihan jika Chapra (2000) menyatakan bahwa kerja institusi keuangan Islam termasuk LKM syariah (LKMS) lebih berat dibandingkan institusi keungan konvensional yang hanya bertopang hanya pada spread bunga antara kewajiban debitor dan kewajiban institusi kepada pemilik modal.

Khusus mengenai pendekatan terhadap kelompok masyarakat pertama, maka pendekatan yang bijak adalah dengan cara pendekatan tabarru’i. Sangatlah tidak bijak jika memaksakan masyarakat yang dihadapkan kepada beban untuk memenuhi kebutuhan dasarnya “dipaksa” untuk mengambil jatah pada akad tijari. Bagaimana masyarakat akan berpikir dengan normal sementara kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dengan layak. Inilah kemudian ditengarai menjadi penyebab terjadinya kredit macet, karena kredit atau pembiayaan yang sejatinya untuk usaha produktif digunakan untuk keperluan konsumtif. Dalam Islam, kewajiban negaralah untuk memastikan kebutuhan dasar masyarakatnya terpenuhi. Bukankah urusan ini tercantum dalam Undang-undang Dasar. Untuk kelompok masyarakat seperti ini, maka perlu proses yang relatif lama untuk menumbuhkan karakter entrepreurship sehingga tidak selamanya bermental ”tangan di bawah”.

Di dalam Islam, ada beberapa instrumen keuangan yang bisa dijadikan sebagai jaring pengaman sosial yang bisa dialokasikan untuk golongan masyarakat tersebut berupa zakat, infaq, shadaqah maupun wakaf (ZISWAF). Dalam konteks LKMS dan UMKM, adakah fungsi yang bisa diperankan oleh ZISWAF. ZISWAF bisa menjadi solusi alternatif bagi keterbatasan akses finansial yang dihadapi oleh LKMS dalam memberikan pelayanan finansial bagi UMKM. Dengan pemahaman yang sama, LKMS dengan institusi ZISWAF-nya bisa memberikan solusi bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang bersifat konsumtif dan bahkan bisa menutupi kebutuhan investasi UMKM.

Dengan dana yang relatif murah dan berkelanjutan, maka sumber dana bagi pembiayaan investasi berbasis sektor riil akan bisa dimaksimalkan. Dengan memaksimalkan peran dan fungsi sebagaimana definisi Baitul Mal wa Tamwil, Dompet Dhuafa (DD) sebagai contoh telah mampu memberikan kontribusi positif bagi pemberdayaan masyarakat dari sisi peningkatan pendapatan dan kemampuan berusaha mitra. Pada pemahaman ini, penulis ingin menegaskan bahwa harus ada demarkasi peran maupun pendekatan baik LKMS sebagai institusi tijari (commercial institution) dan institusi tabarru’i (social institution). Hal ini akan berdampak pada model evaluasi performa kedua model institusi tersebut.

Sebagai ikhtitam, mencari solusi bagi pelayanan atau akses finansial bagi UMKM tidak kemudian diberhenti dengan adanya LKM maupun LKMS. Ada beberapa hal yang menjadi isu kritis jika aliansi strategis antara UMKM dan LKMS tersebut diarahkan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Pertama, harus dipastikan bahwa instrumen riba tidak menjadi bagian dari agenda tersebut. Selalu saja ada ”gap ruang usaha” antara debitor dan kreditor. Dalam pemahaman ini, debitor murni berusaha di sektor riil, sementara kreditor hanya berkutat di sektor moneter. Selalu ada kompensasi dalam sistem bunga atas risiko usaha dengan bunga yang telah ditetapkan di awal (pre determined). Disinilah peran model pembiayaan dalam perspektif Islam layak untuk menjadi alternatif baik yang berbasis equity financing maupun debt financing.

Kedua, kalaulah aliansi strategis antara LKM dan UMKM menjadi kebijakan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, pemerintah harus memiliki data base tentang pemetaaan kelompok miskin yang valid dan up to date. Dengan begitu akan dipastikan dengan baik kelompok mana yang langsung mendapatkan pendekatan komersial dan mana yang sesuai dengan model pendekatan sosial. Harus ada langkah-langkah konkrit yang harus dilalui oleh masyarakat ketika harus berangkat dari pendekatan sosial untuk kemudian layak mendapatkan pendekatan komersial. Ada proses edukasi bagi masyarakat yang harus dilalui dalam pendekatan sosial sehingga meningkat dan layak mendapatkan pelayanan keuangan berbasis komersial.

Pemerintah sebagai penyelenggara program harus belajar dari pengalam program BLT yang salah sasaran akibat dari ketersediaan data yang out of date. Khusus untuk pendekatan sosial, instrumen keuangan Islam berupa ZISWAF pada prakteknya sekarang bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan dasar masyarakat dan dana pendidikan atau technical assistance dalam rangka membangun karakter (character building) masyarakat miskin yang tangguh dan memiliki keahlian kewirausahaan.

Last but not least adalah keberpihakan pemerintah yang betul-betul serius dalam menciptakan infrastruktur yang kuat dalam mendorong pertumbuhan sektor riil khususnya di bidang pertanian yang memang menjadi comparative advantage bagi bangsa Indonesia termasuk lingkungan makro yang kondusif dan sehat bagi keberlanjutan iklim investasi. Wallahu A’lam

Tidak ada komentar: