Senin, 11 Agustus 2008

REDEFINISI KLASIFIKASI KREDIT UMKM

(Artikel dimuat di Harian Republika)

Ditulis bersama Ascarya, Peneliti Senior Bank Indonesia

Sudah banyak penelitian maupun artikel yang mendiskusikan hubungan positif antara UMKM dan pertumbuhan ekonomi, peran UMKM terhadap pengentasan kemiskinan maupun perannya dalam menyerap tenaga kerja. Dibandingkan dengan usaha yang berskala besar, UMKM terbukti lebih tahan dan resisten terhadap krisis ekonomi (Tambunan, 2004).

Beberapa data dan informasi menunjukkan kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional. Sebagaimana yang diungkap oleh Agus Suman dalam harian ini 5 Mei 2008, kontribusi UMKM terhadap PDRB Indonesia mencapai 56.7 persen. Bandingkan dengan kontribusi yang bersumber dari ekspor nonmigas yang hanya mencapai 15 persen. Lebih dari itu UMKM juga memberikan kontribusi sebesar 99.6 persen dalam penyerapan tenaga kerja.

Terlepas dari pencapaian positif UMKM tersebut, penulis berpendapat bahwa pernyataan peran UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi bernada generalisasi (sweeping statement) dan perlu dikritisi lebih lanjut khususnya yang berkenaan dengan klasifikasi kredit UMKM.

Klasifikasi Kredit UMKM

Sesungguhnya UMKM di Indonesia terdiri dari tiga kelompok yang berbeda; usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah. Dalam konteks peran UMKM terhadap perekonomian perlu adanya upaya analisis kritis terhadap komposisi dan kontribusi masing-masing kelompok terhadap perekonomian tersebut. Kelompok manakah selama ini yang mempunyai peluang besar dalam mendapatkan kredit atau pembiayaan. Betulkah komposisi kredit atau pembiayaan tersebut mengakomodir kebutuhan pembiayaan masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah (low-income society).

Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan berarti tanpa alasan argumentatif. Dengan merujuk kepada definisi Micro credit Summit (1997), dimana kredit mikro adalah “programs extend small loans to very poor for self-employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their families”, maka batas klasifikasi kredit mikro sampai dengan Rp 50 juta perlu direview dan dikritisi dengan cermat. Masih banyak masyarakat berpenghasilan rendah yang hanya membutuhkan kredit atau pembiayaan sebanyak Rp 300.000 sampai Rp 1 juta. Dibandingkan dengan Grameen Bank yang didirikan oleh Dr Muhammad Yunus (peraih nobel), mereka memberikan pembiayaan bagi usaha-usaha mikro tidak lebih dari USD200 (Rp 1.82 juta dengan nilai kurs Rp 9100 = USD1).

Dalam kesempatan ini penulis berpendapat bahwa klasifikasi kredit UMKM khususnya untuk usaha mikro tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang berpenghasilan rendah. Data Yayasan Peramu Bogor (2007) menunjukkan bahwa kredit atau pembiayaan usaha mikro yang diberikan berkisar antara Rp 300.000 sampai Rp 1 juta atau rata-rata pembiayaan sebesar Rp 300.000. Jika data tersebut dibandingkan dengan data Bank Indonesia dimana rata-rata kredit mikro adalah sebesar Rp 58 juta, maka bisa disimpulkan bahwa kredit atau pembiayaan yang selama ini didistribusikan belum menyentuh dan menjawab kebutuhan masyarakat.

Kesimpulan diatas juga didukung oleh data Bank Indonesia yang lain terkait dengan kesempatan dan kemampuan usaha mikro untuk mendapatkan akses kredit dari investor atau lembaga keuangan berdasarkan izin usaha. Beberapa isu populer yang menghalangi usaha mikro untuk mendapatkan kredit adalah legalitas usaha, akses terbatas kepada institusi keuangan formal termasuk adanya jaminan (collateral). Dari sisi inilah, penting bagi pemerintah untuk mempermudah persyaratan, menyederhanakan proses, dan meniadakan biaya-biaya tidak jelas untuk mendapatkan izin usaha.

Redefinisi Klasifikasi Kredit

Dengan mencermati gambaran dan permasalahan dalam konteks klasifikasi kredit diatas, maka penulis menilai perlunya klasifikasi baru dalam batas pemberian kredit. Klasifikasi kredit tersebut bisa dimulai dari kredit super mikro sampai dengan Rp 5 juta, kemudian kredit mikro Rp 5 juta sampai dengan Rp 50 juta, kredit kecil Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta dan kredit menengah Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 milyar.

Sebagaimana tercantum di dalam tabel, izin usaha dan jaminan untuk usaha super mikro seharusnya tidak disyaratkan dalam proses aplikasi kredit atau pembiayaan. Hal demikian dikarenakan mayoritas usaha super mikro masuk pada kategori usaha informal. Namun demikian syarat-syarat aplikasi tersebut bisa digantikan dengan jaminan dari lembaga underwriting.

Klasifikasi usaha mikro baru sama dengan klasifikasi lama, dimana aset berkisar Rp10 – Rp100 juta dan batas kredit berkisar Rp5 – Rp50 juta dengan syarat izin usaha dan jaminan bersifat opsional. Demikian pula halnya dengan klasifikasi baru untuk usaha kecil dan menengah yang sama dengan klasifikasi lama. Ketika sebuah usaha atau perusahaan tumbuh dan naik kelas (graduated) menjadi level menengah, maka usaha tersebut dikategorikan bebas dari asistensi dan sudah berdikari. Bentuk klasifikasi kredit baru ini diarahkan untuk bisa membantu setiap level usaha mencapai level berikutnya. Selain itu, sesuai dengan definisi micro credit summit, diharapkan juga agar klasifikasi tersebut bisa menjangkau dan menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia yang miskin atau berpenghasilan rendah.

Upaya untuk memastikan prioritas kredit atau pembiayaan bagi setiap kelompok adalah mutlak menjadi pekerjaan pemerintah. Selain tidak semata-mata memberikan kucuran atau bantuan dana, tentunya pola pendekatan dan pemberdayaan antara kelompok satu dan kelompok lainnya akan sangat berbeda. Yang pasti adalah, jika harus dimulai dari super mikro, pemerintah harus bisa memastikan bahwa leveling diatas bisa berproses dengan strategi tiga E; Efektif, Efisien dan berdampak Ekonomis.

Tidak ada komentar: